Penutur
BJ tersebar hampir meliputi seluruh pulau Jawa (Nothofer, 1975: 8),
dewasa ini bahkan dijumpai pula pemakaian BJ di propinsi lain di
Indonesia yang ada pemukiman orang Jawanya, misalnya di DKI Jakarta, di
daerah transmigrasi Lampung, Sumatra Selatan, bahkan di luar Indonesia,
misalnya Suriname (c.f Sudaryanto (ed.), 1991: 3; Wolfowitz, 1984), dan
di New Caledonia (Lockard, 1971). Hal ini menunjukkan bahwa BJ memiliki
area pemakaian yang amat luas dan penutur yang besar jumlahnya. Jumlah
penutur BJ di Jawa menurut sensus penduduk tahun 2000 ada kurang lebih
110 juta jiwa. Adapun jumlah itu belum termasuk orang Jawa dan penutur
BJ di tempat lain.
Berkaitan
dengan posisi BJ dalam penelitian dialek bahasa daerah (BD) di
nusantara, perlu ada upaya pelacakan yang sistematis. Maksudnya ada
sifat ilmiah, alamiah, dan menurut sejarah perkembangannya berkaitan
dengan BD itu.
Uraian
tersebut menunjukkan bahwa penelitian bahasa daerah bukan merupakan
sesuatu yang sia-sia, ketika kita berfikir tentang "wajah" bahasa dan
budaya kita sebagai bangsa yang majemuk dari sisi suku, bahasa, budaya, dan nusa
yang bertebaran di sepanjang khatulistiwa. Berkaitan dengan konsep
majemuk tersebut BD Jawa berada dalam kemajemukan (bahasa nusantara)
yang majemuk (dalam BJ terdapat banyak dialek). Maksudnya BD Jawa
memiliki variasi yang berupa dialek-dialek dalam BJ (meliputi dialek Surakarta, Banyumas, Pesisir, dan Jawa Timur-an).
Tulisan ini ingin mengungkapkan potensi BJ dari segi (1) jumlah
penutur, (2) daerah pamakaian, (3) sejarah pemakaian, (4) nilai sastra
dan seni, (5) variasi, (6) perhatian ilmuwan (linguist) terhadap bahasa
Jawa.
2 LANDASAN TEORI
Menurut
Multamia (1998: 1) sebenarnya pelacakan bahasa-bahasa nusantara
bukanlah sebuah gagasan baru. Hanya saja belum tercapai kesatuan
pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul, mungkin disebabkan karena
perbedaan metode penelitian yang dipergunakan serta dasar pemilahannya.
Perbedaan pendapat itu dimungkinkan juga karena adanya sekelompok orang
yang melakukan penelitian lapangan dan ada pula yang hanya memperkirakan
berdasarkan pengetahuan umum untuk melacak bahasa-bahasa Nusantara.
Salzner (1980) berpendapat bahwa di seluruh kepulauan Indonesia hanya
terdapat 69 bahasa. Esser (1951), Alisjahbana (1954), Adinegara (1954),
Iskandar (1957), dan Hadidjaja (1961) berpendapat bahwa di seluruh
kepulauan Indonesia terdapat lebih kurang 200 bahasa. Lembaga Bahasa
Nasional (1972) berusaha menengahi pertentangan itu dengan jalan
mengumpulkan informasi dari setiap propinsi melalui Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengenai situasi kebahasaan saat
itu. Hasilnya di seluruh kepulauan Indonesia terdapat 418 bahasa dan
dialek. Summer Institute of Linguistics (1980) yang banyak
melakukan penelitian di Indonesia bagian timur berpendapat bahwa di
seluruh kepulauan Indonesia terdapat 583 bahasa. Konsep pelacakan di
sini salah satunya dapat diartikan seberapa banyak penelitian ilmiah
yang telah dilakukan terhadap BD, khususnya bahasa Jawa.
Usaha
pelacakan jika diadakan penelitian lapangan di seluruh Indonesia secara
seksama dengan menggunakan satu metode serta kriteria yang sama,
sekurang-kurangnya upaya pelacakan ini dapat memberikan gambaran yang
lebih menyeluruh dan akurat. Lebih lanjut, manfaat lainnya, jika bahasa
dianggap sebagai cermin budaya maka informasi dari peta bahasa mengenai
daerah-pakai, daerah-sebar, dan daerah inti bahasa-bahasa nusantara itu
akan menuntun kita untuk menyelusuri wilayah budaya, yang pada akhirnya
akan memberikan informasi dasar kepada kita mengenai perkiraan jumlah
budaya daerah beserta variasi-variasinya di seluruh Indonesia (Multamia,
1998: 1).
3 PEMBAHASAN
Bahasa Jawa sebagai bagian dari bahasa nusantara sekurang-kurangnya memiliki tujuh
identifikasi bila dibandingkan dengan BD yang lain, yaitu (1) jumlah
penutur, (2) areal pemakaian, (3) sejarah pemakaian (yang tergolong kuna
terbukti dalam piagam/prasasti yang telah ditemukan), (4) nilai sastra
dan seni, (5) variasi pemakaian dalam dialek-dialek, dan (6) perhatian
ilmuwan terhadap BJ.
3.1 Jumlah Penutur
Menurut
sensus penduduk tahun 2000 jumlah penutur BJ kurang lebih 110 juta
jiwa, itu berarti hampir 50% penutur dari bahasa daerah di nusantara,
ketika penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 220 juta jiwa. Besarnya
jumlah penutur BJ tersebut dengan segala profesinya yang memiliki
kondisi mobilitas yang tinggi (transmigrasi, urbanisasi, kru
transportasi, pelajon/nglajo/umbal), menduduki jabatan politis,
edukatif, budayawan, sastrawan, ilmuwan/peneliti, dan sebagainya
merupakan potensi yang ikut serta menambah posisi dan potensi BJ sangat
besar pengaruhnya dalam percaturan bahasa-bahasa nusantara umumnya dan
bahasa nasional khususnya. Terbukti besarnya unsur BJ dalam pamakaian
bahasa nasional.
Jumlah
penutur BJ yang menyebar ke berbagai bidang profesi tersebut, secara
real membuktikan posisi strategis BJ dalam peta bahasa-bahasa nusantara.
Namun demikian, kestrategisan tersebut tidak dimaksudkan untuk
"mengalahkan" BD yang lain, tetapi dimaksudkan untuk mengangkat dan
memperkaya bahasa nasional. Mengapa memperkaya bahasa nasional dengan BD
yang ada di nusantara? Jawaban pertanyaan itu tentunya berkaitan dengan
konsep "nasionalisme" yang sering kita dengung-dengungkan selama ini,
tetapi sering kita "khianati" sendiri. Kita sering bernyali kecil dengan
bahasa kita (bahasa daerah ataupun bahasa Indoensia), karena merasa
kurang prestise dan tidak komunikatif. Di samping itu, bahasa dan
budaya kita diteliti orang luar, kita hanya merasa bangga bahwa bahasa
kita "laku", tetapi tidak sadar bahwa sebenarnya "dapur kita "dilihat"
dan "dicicipi" orang lain, dalam rangka untuk "menaklukkan" jati-diri
kita. Setelah itu antara lain dapat memperkuat posisi materi dan
visi-visi orang/bangsa lain. Sementara kita tidak menyadari atau tidak
pernah memiliki kekuatan untuk bersetara dengan mereka kecuali menjadi
"pengikut" (jika tidak boleh disebut "budak"), karena tidak berdaya
berperilaku seperti mereka. Kita menjual aset (budaya, bahasa) kita
kepada bangsa lain dalam bungkus kerja-sama (penelitian, yayasan).
Sepanjang sejarah kemerdekaan kita, kita tetap menerima menjadi penutur
BD kita sendiri yang kurang memiliki semangat kebahasaan (terbukti BD
Jawa misalnya semakin tidak terpelihara) dan kebangsaan yang tinggi
(kita merasa lebih prestise mengambil jurusan bahasa asing). Di samping
itu, kita sering basa-basi karena kegiatan-kegiatan yang berwajah
ilmiah sering sekedar materi atau untuk mencari uang, gelar akademik,
profesi, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita menjadi tertatih-tatih
untuk sejajar dengan bahasa dan bangsa lainnya. Kondisi seperti ini
disadari atau tidak sebenarnya menyangkut kebutuhan ekonomi, kekuatan
dan kepentingan politik yang berkembang (perhatian pemerintah), serta
orientasi pendidikan.
3.2 Daerah Pemakaian
Pada
bagian pendahuluan telah dikemukakan bahwa areal pemakaian BJ meliputi
sebagian pulau Jawa, lokasi transmigrasi orang Jawa, Suriname, New
Caledonia, DKI Jakarta, dan pemukiman yang ada orang Jawanya. Semuanya
itu tidak terlepas dari kisah sejarah kejawaan yang berkembang selama
ini, baik atas inisiatif orang-perorang (mencari kerja), kepentingan
politik pemerintah (pembuangan, kuli kontrak, duta besar, mutasi kerja),
maupun kisah penjajahan masa lalu (Suriname, New Caledonia). Luasnya
jangkauan area pemakaian BJ tersebut membuktikan bahwa BJ merupakan
bahasa yang pernah berpengaruh dalam sejarah (sosial, ekonomi, politik,
budaya) pada masa lalu ketika kekuasaan di Jawa (Majapahit, Demak,
Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, Yogyakarta) masih berdiri tegak,
sekalipun dalam saat tertentu pernah dalam posisi tertindas
(penjajahan). Keadaan demikian itu, menjadi ironis ketika lama-kelamaan
semuanya itu tinggal menjadi masa lalu, karena secara empiris penutur BJ
itu sendiri merupakan penutur yang "problematis". Maksudnya
identifikasi penutur BJ itu memiliki karakteristis (1) orang Jawa yang
masih dapat berbahasa Jawa sesuai aturan, (2) orang Jawa dapat berbahasa
Jawa dengan kondisi gagap/gado-gado/tidak tahu persis, (3) orang Jawa
yang berbahasa Indonesia atau orang Indonesia dengan "gaya" Jawa, (4)
orang Jawa yang bergaya "barat (west)", (5) orang Jawa yang berbahasa
"ngoko".
3.3 Sejarah Pemakaian
Konsep
sejarah pemakaian BJ dapat diartikan mulai ditemukannya pemakaian BJ
secara lisan dan tertulis. Secara lisan belum ditemukan bukti-bukti
ilmiah mulai kapan BJ digunakan, namun secara antropologis diprediksikan
mulai adanya orang Jawa itu sendiri, yaitu kira-kira 2.000.000 tahun
yang lalu, yaitu pada kala es di kutub telah mencair. Kala itu pulau
Jawa telah didiami oleh manusia purba yang pekerjaannya berburu. Menurut
Dubois pada tahun 1896 (c.f. Koetjaraningrat, 1984) telah ditemukan
fosil-fosil manusia purba di daerah sepanjang lembah sungai Brantas
Mojokerto dan di Sangiran Sragen, manusia purba itu diberi nama Homo Erectus.
Dalam hal ini, bentuk pemakaian lisan yang bagaimana tentunya secara
teoritis sulit pula dirumuskan, kecuali perumusan yang bersifat
teoritis-hipotetis. Misalnya salah satunya menurut teori munculnya
bahasa seperti teori tekanan sosial (The Social Pressure Theory) yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments
(halaman 343) c.f. Keraf, 1996: 2). Teori ini berpendapat bahwa bahasa
manusia timbul karena manusia primitif dihadapkan pada kebutuhan untuk
saling memahami. Teori yang lain seperti tentang timbulnya bahasa masih
ada (c.f. Keraf, 1996: 1-21).
Adapun
secara tertulis, BJ yang tertua (baca: BJ yang paling kuna) menurut
Kridalaksana (1984: 18) ditemukan pemakaiannya dalam karya sastra tertua
yang berjudul Candakarana, memuat nama raja keturunan Sailendra, yang diperkirakan berasal dari abat ke-8 Masehi, karena raja tersebut ialah raja yang membangun candi Kalasan (kurang lebih tahun 700 S atau 778 M). Piagam berbahasa Jawa Kuna tertua (yang diketahui hingga kini) diketemukan di desa Sukabumi
(dekat Kediri Jawa Timur) berisi angka tahun 726 S atau 804 Masehi.
Berturut-turut, pemakaian BJ kuna secara tertulis sebagai salah satu
dialek temporal BJ ditemukan seperti yang dipakai dalam buku Ramayana, Adiparwa, Arjunawiwaha, Bharatayuddha yang hanya digunakan menjelang Kerajaan Singasari
berdiri. Lebih lanjut, dalam zaman Majapahit BJ tengahan telah menjadi
BJ sehari-hari (Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja, 1952: 57), meskipun
Agama Islam waktu itu telah masuk dan mulai tumbuh di pulau Jawa, namun
Bahasa Arab belum berpengaruh dalam kesusasteraan. Dalam kesusasteraan
para pujangga terus masih menggunakan bahasa buku, seperti Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Dharmasurya (tahun 1382 S atau 1418 M) dan Harisraya (kakawin yang berciri angka tahun sengkalan berbunyi Sad sanganjala candra = 1496 S atau 1574 M*).
Poerbatjaraka (1957) membagi kesusasteraan Jawa menjadi tiga periode, yaitu:
(1) Jawa Kuna (bercirikan mendapat pengaruh Sansekerta dan belum mengenal bahasa Arab, meliputi:
(a) Jawa Kuna Tua seperti Candakarana s.d. Lubdhaka berjumlah 26 buku, dan
(b) Jawa Kuna Baru, seperti Brahmandapurana kakawin s.d. Harisraya kakawin berjumlah 10 buku);
(2) Jawa Tengahan, meliputi:
(a) Hasil
karya penulis tradisional yang menggunakan bahasa sastra atau buku,
tetapi tidak mampu menghindari sama sekali pengaruh pemakaian bahasa
umum (misalnya Tantu Panggelaran bentuk gancaran s.d. Pararaton bentuk gancaran berjumlah 5 buku),
(b) Syair Jawa Tengahan, meliputi:
b.1. tembang gede tanpa guru lagu kakawin, misalnya Dewa Ruci dan Suluk Sukarsa (telah mendapat pengaruh Bahasa Arab).
b.2. tembang tengahan (macapat), misalnya Sudamala s.d. Sri Tanjung.
b.3. sesudah mendapat pengaruh Islam, seperti Het Boek van Bonang s.d. Kitab Kanda.
(c) Jawa Baru, berupa karya sastra semenjak zaman kerajaan Surakarta awal (tahun 1740) hingga sekarang.
3.4 Nilai Sastra dan Seni
Bahasa
Jawa (BJ) dengan berbagai dialeknya memiliki nilai sastra dan seni
dengan seperangkat kategori dan kriteria yang dimilikinya. Kategori
nilai sastra dan seni dalam hal ini dapat dipahami secara lokatif
sebagai suatu wujud kreativitas masing-masing pendukung budaya Jawa
(termasuk BJ lokal) dalam bentuk sastra dan seni. Adapun kriteria nilai
sastra dan seni merupakan sebuah ketentuan atau kaidah yang mengatur
untuk bersastra dan berseni tersebut. Pemahaman terhadap keduanya (nilai
sastra dan seni) memiliki sebuah beban kultural yang khusus, artinya
setiap pendukung sastra dan seni yang dilatarbelakangi oleh perbedaan
lokal yang berkaitan dengan dialek BJ yang ada tersebut, dapat
mencerminkan sebuah variasi kreativitas dalam sastra dan seni Jawa.
Variasi
nilai sastra dan seni itu dapat tercermin dalam sastra dan seni Jawa
bergaya Surakarta (termasuk Yogyakarta), Banyumasan, Pesisir, dan Jawa
Timuran apabila pengelompokan tersebut disesuaikan dengan pembagian
dialek BJ yang ada (Nothofer, 1972: 75). Adapun wujud konkritnya
tercermin pada tembang (puisi), gancaran (prosa), sengkalan, wangsalan, parikan, bebasan, paribasan, saloka, unen-unen, dan tembung endah (kata indah) lainnya.
3.5 Variasi Pemakaian BJ dalam Dialek-dialek
Bahasa Jawa (BJ) dapat dilihat dari kekayaan variasi pemakaiannya, baik menyangkut waktu (dialek temporal), lokasi (dialek geografis), dan penuturnya (dialek sosial). Sekurang-kurangnya yang telah diidentifikasi oleh Poerbatjaraka (1957) dan Kridalaksana (1984) dialek temporal meliputi BJ Kuna, BJ Tengahan, dan BJ Baru
(mulai Surakarta hingga sekarang). Dialek geografis menurut Nothofer
(1972: 75) dikelompokkan menjadi dialek Surakarta, Banyumasan, Pesisir
dan Jawa Timuran. Multamia (1998: 3) telah mengidentifikasi hasil
penelitian dialek BJ yang dapat dikelompokkan dialek geografis yang
telah diteliti dalam bentuk Tesis, di samping tesis Wakit (1996) tentang
geografi dialek BJ Madiun (masuk dalam identifikasi Multamia, 1998)
masih ada penelitian lain yang belum tercatat dalam identifikasi
Multamia tersebut, yaitu geografi dialek BJ Surakarta secara sinkronis
(Wakit, dkk., 1997), geografi dialek BJ Surakarta secara diakronis
(Wakit, dkk., 1998), geografi dialek BJ Ngawi secara sinkronis
(Supiyarno dan Wakit, 1999/2000), geografi dialek BJ Ngawi secara
diakronis (Supiyarno dan Wakit, 2001), Geografi Dialek BJ Sragen
(Mulyati dan Wakit, 2002), Geografi dialek BJ Klaten (Suwanto dan Wakit,
2003), Geografi dialek BJ Banjarnegara (Lastuti, 2000), Geografi dialek
Banyumasan di Banjarnegara (Wakit, 2003).
Sebagai
bahan pembanding tentang penelitian dialek yang ada, Multamia (1998: 5)
telah membuat sebuah grafik pelacakan mandiri (yang menghasilkan
persentase) tentang penelitian dialektologi yang telah dilakukan.
Pelacakan tersebut menunjukkan 45,97% di Jawa, 17,74% di Sumatra, 13,71%
di Sulawesi, 10,48% di Bali, 7,26% di Nusa Tenggara, 4.03% di
Kalimantan, dan 0,81% di Kalimantan.
Dialek
sosial dapat dikelompokkan pada pemakaian BJ dalam tingkat sosial
tertentu seperti hubungan antara orang-tua--bangsawan--guru--penguasa,
sesama--sebaya--seusia--sederajat, dengan orang di bawahnya
(batur--murid--anak--prajurit--bawahan). Hal-hal yang bersentuhan dengan
masalah dialek sosial misalnya tercermin dalam hasil penelitian tentang
Tata Bahasa Transformasi Bahasa Jawa Tingkat Tutur Krama (Hari Mulyono, dkk., 1989), Penggunaan Bahasa Jawa Krama Mahasiswa Progam D-2 Bahasa Jawa IKIP Semarang Angkatan 1988/1989 (Hardyanto, dkk., 1990), Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa (Ekowardono, dkk., 1991), Speech Levels as Indicators of Social Classes in Javanese Novels (Kartomihardjo, 1971), Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Poedjosoedarmo, dkk., 1979), Pemakaian Tingkat Tutur Krama dalam BJ di Kodya Surakarta (Maryono DW, Wakit, Sujono, 1990/1991), Fungsi dan Bentuk Krama dalam Masyarakat Tutur Jawa Studi Kasus di Kotamadya Surakarta (Maryono DW, 1997).
3.6 Perhatian Dunia Ilmuwan (Linguis) Terhadap BJ
Perhatian
dunia luar terhadap BJ dalam bentuk penelitian, kajian singkat, atau
tulisan lainnya cukup besar. Terbukti penelitian yang telah dilakukan
oleh orang asing maupun domestik terhadap BJ dari hasil tulisan dan
topik terkait banyak jumlahnya. Karya-karya yang dimaksud meliputi
bidang bahasa, seperti Bahasa Kawi I untuk Fakultas sastra UI dan Bahasa Kawi I untuk SMA dan SGA (Broto AS., 1963 dan 1965), Sarwasastra I, II, dan III (Hadiwidjana, 1963, 1968, 1972), Kamus Jawa Kuna - Indonesia (Mardiwarsito, 1978), Serat Mardi Kawi I, II, III (Purwadarminta, 1930), Bahasa Parwa I, II (Zoetmulder dan Pudjawijatna, 1961 dan 1967), Unggah-ungguh Bahasa Jawa (Darusuprapto, 1982), Beberapa Masalah Sintaksis Bahasa Jawa (Gloria Poedjosoedarmo, 1981), Sistem Perulangan dalam Bahasa Jawa (Gloria Poedjosoedarmo, dkk., 1981), Bahasa Jawa sebagai Sarana Pengembangan Budaya (Istiati Soetomo, 1989), Tatabahasa Jawa Tingkat Tutur Krama: Tata Kalimat (Mulyono, 1989), Kode Tutur Masyarakat Jawa (Soepomo 1979), Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Soepomo dkk., 1979), Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Sarining Paramasastra Djawa (Poerwadarminta, 1953), Konklusi Paramasastra beserta persamaannya Djawa - Indonesia (Prawiroatmodjo, 1955), Bausastra Jawa - Indonesia (Prawiroatmodjo, 1981), Memetri Basa Jawa I, II, III (Padmosoekotjo, 1981), Paramasastra Jawa (Padmosoekotjo, 1986), Sopan-santun Berbahasa Jawa (Suwaji, 1985), Transposisi dari adjektiva menjadi Verba dan sebaliknya dalam Bahasa Jawa (Subroto, 1985), Tatabahasa Deskriptif Bahasa Jawa (Subroto, 1991), Konstruksi Verba Aktif-Pasif dalam Bahasa Jawa (Subroto, 1994), Pronomina Persona Bahasa Jawa dan Penggunaannya di Lingkungan Karaton Kasunanan Surakarta (Harsoyo, 1986), Paramasastra Jawa Gagrag Anyar (Sasangka, 1989), Prinsip Dasar Berbahasa Jawa Ngoko dan Krama (Sasangka, 1991), Tingkat Tutur Bahasa Jawa Berdasarkan Leksikon Pembentuknya (Sasangka, 1994), Kawruh Paramasastra Jawa (Subalidinata, 1994), Tatabahasa Baku Bahasa Jawa (Sudaryanto (Peny.), 1991), Pathining Basa Jawi (Sutrisno, 1982). Kajian Morfologi Bahasa Jawa (Uhlenbeck, 1982). Karya-karya lainnya masih banyak misalnya yang berkaitan dengan pembagian dialek bahasa Jawa (Uhlenbeck, 1972), Bahasa Jawa Dialek Madium (Wakit, 1996), Bahasa Jawa Dialek Surakarta (1998), Bahasa Jawa Dialek Banyumasan di Banjarnegara (Wakit, 2003).
4 SIMPULAN
Bahasa Jawa (BJ) sebagai bagian dari bahasa nusantara dapat dikatakan memiliki sejarah panjang pertumbuhannya, area pemakaiannya, jumlah
penutur yang besar, variasi dialek-dialeknya, perhatian ilmuwan
terhadapnya, dan potensi sastra seninya. Hal itu dapat membuktikan bahwa
secara objektif BJ memiliki tingkat “keunggulan” tersendiri. Keunggulan
tersebut menjadi berarti ketika BJ sebagai bagian dari bahasa nusantara
secara komprehensif mendapatkan perhatian secara proporsional, baik
oleh penutur sebagai pendukungnya maupun oleh peminat dari segala aspek
dan atau bidang yang ada terhadap BJ tersebut.
sumber:http://imam-waluyo.blogspot.com/2011/10/bahasa-jawa-dan-potensinya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar