BAB I
BAHASA
1. PENGERTIAN
BAHASA
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang
tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang
terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata
bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan
baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya. Sebelumnya,
harus dipahami dahulu Apa itu bahasa ? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, ada baiknya jika kita memperhatikan beberapa pengertian bahasa
tersebut berdasarkan pengertian umum dengan melihat kamus umum,
sebagai istilah linguistik dengan melihat kamus linguistik, dan menyimak aneka
pendapat para ahli dari latar belakang yang berbeda.
Dalam kamus umum, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI, 1990: 66) bahasa diartikan sebagai sistem lambang
bunyi berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional
yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Kamus
Webster mendefinisikan bahasa sebagai A systematic means of
communication ideas or feeling by the use of communication sign, sounds,
gestures, or mark having understood meanings. Dari dua makna umum tentang
bahasa di atas, ada persamaan yang jelas. Persamaan itu adalah
bahwa bahasa ditempatkan sebagai alat komunikasi antar manusia untuk
mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan menggunakan simbol-simbol komunikasi
baik yang berupa suara, gestur (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan.
Sebagai sebuah istilah dalam linguistik, Kridalaksana
(1993:21) mengartikannya sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer,
yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Pei dan Gaynor
(1975:119) mengatakan bahwa bahasa adalah A system of communication by
sound, i.e., through the organs of speech and hearing, among human beings of
certain group or community, using vocal symbols possessing arbitrary
conventional meaning. Dari pandangan ahli linguistik seperti Kridalaksana,
Pei, dan Gaynor di atas, bahasa ditekankan sebagai sebuah sistem lambang.
Istilah sistem mengandung makna adanya keteraturan dan adanya unsur-unsur
pembentuk. Jalaludin Rakhmat (1992:269), seorang pakar komunikasi,
melihat bahasa dari dua sisi yaitu sisi formal dan fungsional. Secara
formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang
dibuat menurut tatabahasa. Sedangkan secara fungsional, bahasa diartikan
sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan.
Definisi yang diajukan Rakhmat ini tampak mencoba merangkum pengertian
umum dengan pendapat linguis. Istilah sisi formal yang dikemukakan
Rakhmat mirip dengan istilah sistem, sedangkan sisi fungsional sejalan
dengan bahasa sebagai alat komunikasi. Pemahaman bahwa bahasa sebagai
alat komunikasi, juga didukung oleh seorang sosiolinguis bernama Ronald
Wardhaugh. Ia menyatakan bahwa bahasa adalah A System of aribtrary vocal
symbols used for human communication.
Penggambaran yang lebih luas tentang bahasa pernah
disampaikan oleh bapak linguistik modern, Ferdinan de Saussure. Ia
menjelaskan bahasa dengan menggunakan tiga istilah yaitu langage, Langue,
dan parole. Ketiga istilah dari bahasa Prancis itu dalam bahasa
Indonesia dipadankan dengan satu istilah saja yaitu ‘bahasa’. Langage adalah
sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara
verbal. Langage ini bersifat abstrak. Istilah langue mengacu
pada sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat tertentu. Sedangkan parole adalah bentuk konkret langue
yang digunakan dalam bentuk ujaran atau tuturan oleh anggota masyarakat dengan
sesamanya (Chaer, 1995:39-40; Chambers, 95:25; Verhaar,81:1).
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1),
memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai
alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah system komunikasi yang
mempergunakan symbol-simbol vocal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Lain
halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa
yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those
symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat
didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional
untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan
kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu system yang sistematis dan juga system yang generative. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambing-lambang mana suka atau symbol-simbol arbitrer.
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu system yang sistematis dan juga system yang generative. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambing-lambang mana suka atau symbol-simbol arbitrer.
Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan
suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang
bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem,
suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem.
Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12). Pendapat lainnya
tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau
memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk
membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan. Alat yang
dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang
jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari
keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa
bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi
pada sistem saraf.
Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Definisi lain tentang bahasa, antara lain bisa kita
dapat dari Finochiaro. Meskipun tidak terlalu berbeda dengan definisi-definisi
di atas, ia memasukkan kaitan bahasa sebagai bentuk budaya. Ia
menyatakan bahwa Language is a system of arbitrary, vocal
sumbols which permits all peaple in a given culture, or other peaple who have
learned the system of the culture, to communicate or to interact.
Dari sudut pandang psikologi, karena bahasa itu sebuah
sistem simbol terstruktur, maka bahasa bisa dipakai sebagai alat berpikir,
merenung, bahkan untuk memahami segala sesuatu. De Vito menyatakan bahwa
bahasa adalah A potentially self-refleksive, structired system of
symbols which catalog the objects, events, and relation in the world .
2. Hakekat
Bahasa
Dengan melihat deretan definisi tentang bahasa di
atas, dapat disimpulkan bahwa cukup banyak dan bervariasi definisi tentang
bahasa yang bisa kita temui. Variasi itu wajar terjadi karena sudut
pandang keilmuan mereka yang juga berbeda. Meskipun demikian, variasi
tersebut terletak pada penekanannya saja, akan tetapi hakikatnya sama.
Ada yang menekankan bahasa pada fungsi komunikasi, ada yang mengutamakan bahasa
sebagai sistem, ada pula yang memposisikan bahasa sebagai alat. Meskipun
demikian, ada persamaan dalam hal-hal prinsip, yang oleh Alwasilah (1993: 82-89)
disebut dengan hakikat bahasa, sebagaimana akan dijelaskan dalam uraian berikut
ini:
a.
Bahasa
itu sistematik,
Sistematik artinya beraturan atau berpola. Bahasa
memiliki sistem bunyi dan sistem makna yang beraturan. Dalam artian, tidak sembarangan
bunyi bisa dipakai sebagai suatu simbol dari suatu rujukan (referent)
dalam berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan.
Kata pnglln tidak mungkin muncul secara alamiah, karena tidak ada vokal
di dalamnya. Kalimat Pagi ini Faris pergi ke kampus, bisa
dimengarti karena polanya sitematis, tetapi kalau diubah menjadi
Pagi pergi ini kampus ke Faris tidak bisa dimengarti karena
melanggar sistem.
Bukti lain, dalam struktur morfologis bahasa
Indonesia, prefiks me- bisa berkombinasi dengan dengan sufiks –kan
dan –i seperti pada kata membetulkan dan menangisi. Akan
tetapi tidak bisa berkombinasi dengan ter-. Tidak bisa dibentuk kata mentertawa,
yang ada adalah mentertawakan atau tertawa. Karena bahasa itu
beraturan dan berpola.
b.
Bahasa itu
manasuka (Arbitrer)
Manasuka atau arbiter adalah acak , bisa muncul
tanpa alasan. Kata-kata (sebagai simbol) dalam bahasa bisa muncul tanpa
hubungan logis dengan yang disimbolkannya. Mengapa makanan khas
yang berasal dari Garut itu disebut dodol bukan dedel atau dudul
? Mengapa binatang panjang kecil berlendir itu kita sebut cacing ?
Mengapa tumbuhan kecil itu disebut rumput, tetapi dalam bahasa Sunda
disebut jukut, lalu dalam bahasa Jawa dinamai suket. Hal itu
disebabkan karena Tidak adanya alasan kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
di atas atau yang sejenis dengan pertanyaan tersebut.
Bukti-bukti di atas menjadi bukti bahwa bahasa
memiliki sifat arbitrer, mana suka, atau acak semaunya. Pemilihan bunyi
dan kata dalam hal ini benar-benar sangat bergantung pada konvensi atau
kesepakatan pemakai bahasanya. Orang Sunda menamai suatu jenis buah
dengan sebutan cau, itu terserah komunitas orang Sunda, biarlah orang
Jawa menamakannya gedang, atau orang Betawi menyebutnya pisang.
Ada memang kata-kata tertentu yang bisa
dihubungkan secara logis dengan benda yang dirujuknya seperti kata
berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi halilintar, atau
mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena seperti itu hanya sebagtian
kecil dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.
c.
Bahasa
itu vokal
Vokal dalam hal ini berarti bunyi. Bahasa
berwujud dalam bentuk bunyi. Kemajuan teknologi dan perkembangan
kecerdasan manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi
sistem tulis tidak bisa menggantikan ciri bunyi dalam bahasa. Sistem
penulisan hanyalah alat untuk menggambarkan arti di atas kertas, atau
media keras lain. Lebih jauh lagi, tulisan berfungsi sebagai pelestari
ujaran. Lebih jauh lagi dari itu, tulisan menjadi pelestari kebudayaan
manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia terdahulu lainnya bisa kita
prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari. Sesuatu itu
antara lain berbentuk tulisan.
Realitas yang menunjukkan bahwa bahwa
bahasa itu vokal mengakibatkan telaah tentang bahasa (linguistik)
memiliki cabang kajian telaah bunyi yang disebut dengan istilah fonetik
dan fonologi.
d.
Bahasa itu
simbol
Simbol adalah lambang sesuatu, bahasa juga
adalah lambang sesuatu. Titik-titik air yang jatuh dari langit diberi simbol
dengan bahasa dengan bunyi tertentu. Bunyi tersebut jika ditulis adalah
hujan. Hujan adalah simbol linguistik yang bisa disebut kata untuk melambangkan
titik-titik air yang jatuh dari langit itu. Simbol bisa berupa bunyi,
tetapi bisa berupa goresan tinta berupa gambar di atas kertas.
Gambar adalah bentuk lain dari simbol. Potensi yang begitu tinggi
yang dimiliki bahasa untuk menyimbolkan sesuatu menjadikannya alat
yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan bagaimana
jadinya jika manusia tidak memiliki bahasa, betapa sulit mengingat
dan menkomunikasikan sesuatu kepada orang lain.
e.
Bahasa itu
mengacu pada dirinya
Sesuatu disebut bahasa jika ia mampu dipakai untuk
menganalisis bahasa itu sendiri. Binatang mempunyai bunyi-bunyi
sendiri ketika bersama dengan sesamanya, tetapi bunyi-bunyi yang meraka
gunakan tidak bisa digunakan untuk membelajari bunyi mereka sendiri.
Berbeda dengan halnya bunyi-bunyi yang digunakan oleh manusia ketika
berkomunikasi. Bunyi-bunyi yang digunakan manusia bisa digunakan untuk
menganalisis bunyi itu sendiri. Dalam istilah linguistik, kondisi seperti itu
disebut dengan metalaguage, yaitu bahasa bisa dipakai untuk membicarakan
bahasa itu sendiri. Linguistik menggunakan bahasa untuk menelaah bahasa
secara ilmiah.
f.
Bahasa itu
manusiawi
Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa bahwa itu
adalah kekayaan yang hanya dimiliki umat manusia. Manusialah yang
berbahasa sedangkan hewan dan tumbuhan tidak. Para hali biologi
telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi, sistem komunikasi
binatang berbeda dengan sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi
binatang tidak mengenal ciri bahaya manusia sebagai sistem bunyi dan makna.
Perbedaan itu kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai homo
loquens atau binatang yang mempunyai kemampuan berbahasa.
Karena sistem bunyi yang digunakan dalam bahasa manusia itu berpola makan
manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan yang bertata bahasa.
g.
Bahasa itu
komunikasi
Fungsi terpenting dan paling terasa dari bahasa
adalah bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi. Bahasa berfungsi
sebagai alat memperaret antar manusia dalam komunitasnya, dari
komunitas kecil seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara.
Tanpa bahasa tidak mungkin terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak
terbayangkan bagaimana bentuk kegiatan sosial antar manusia tanpa bahasa.
Komunikasi mencakup makna mengungkapkan dan
menerima pesan, caranya bisa dengan berbicara, mendengar, menulis, atau
membaca. Komunikasi itu bisa beralangsung dua arah, bisa pula searah.
Komunikasi tidak hanya berlangsung antar manusia yang hidup pada satu
jaman, komunikasi itu bisa dilakukan antar manusia yang hidup pada jaman yang
berbeda, tentu saja meskipun hanya satu arah. Nabi Muhammad SAW telah
meninggal pada masa silam, tetapi ajaran-ajarannya telah berhasil
dikomunikasikan kepada umat manusia pada masa sekarang. Melalui buku,
para pemikir sekarang bisa mengkomunikasikan pikirannya kepada para penerusnya
yang akan lahir di masa datang. Itulah bukti bahwa bahasa menjadi
jembatan komunikasi antar manusia.
3. Fungsi Bahasa,
Macam dan jenis keragaman bahasa
Bahasa sendiri di dalam kehidupan sehari-harinya
memiliki fungsi yang membantu manusia dalam melakuan kegiatannya baik di
lingkungan keluarga, lingkungan sekitar(masyarakat)ataupun lingkungan dalam
artiluas.
Fungsi Bahasa dalam Masyarakat:
a. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
Dengan adanya bahasa memudahkan manusia dalam
berinteraksi dengan manusia lain.
b. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
Bahasa mempunyai peranan penting di dalam aktivitas
manusia dalam hal bekerjasama dengan manusia lain. Tanpa adanya
bahasa,kemungkinan besar akan terjadi kekacauan di dalamnya.
c. Alat untuk mengidentifikasi diri.
Dengan bahasa, maka dapat mengidentifikasi darimana
seseorang itu berasal.
Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
a. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa
istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.
b. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya
bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
c. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu
wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek
bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
d. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu
golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa
orang-orang jalanan.
e. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan
dan bahasa tulisan.
f. Ragam bahasa
pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak
baku).
BAB II
PERSEBARAN DAN KLASIFIKASI BAHASA JAWA
1. Persebaran
Bahasa Jawa
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi,
dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang
dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam
berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan
bicara / target komunikasi.
Hal tersebut terlihat jelas dalam penggunaan bahasa
Jawa yang didalamnya terdapat tingkatan bahasa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang
digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama
di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara
terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa
Tengah & Jawa Timur serta Yogyakarta
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa
andil dalam persebaran bahasa jawa dan juga kebudayaan Jawa ke Malaysia,
sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung
Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga
tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang
cukup signifikan adalah : Lampung (61%), Bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara
15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka merupakan keturunan
para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau,
khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau
Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah
lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak
jaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia.
Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai
15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai
kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke
wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Dalam bahasa jawa sendiri terdapat dua klasifkasi
dialek, yakni : Dialek daerah, dan Dialek social. Bahasa ini terbentuk dari
gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu,
meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan
pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan
dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah,
pengelompokkannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam
bukunya: “ A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”,
The Hague: Martinus Nijhoff[1].
2. Klasifikasi
Bahasa Jawa
2.1.
Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Barat :
a. Dialek
Banten
Menurut sejarahnya, bahasa Jawa Banten mulai
dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16. Di zaman itu, bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tiada
bedanya dengan bahasa di Cirebon,
sedikit diwarnai dialek Banyumasan. Asal muasal kerajaan Banten memang berasal
laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir
utara Kerajaan Pajajaran.
Namun, bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya
dikelilingi daerah penuturan bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa ini menjadi bahasa utama Kesultanan Banten
(tingkatan bebasan) yang menempati Keraton Surosowan. Bahasa ini juga menjadi
bahasa sehari - harinya warga Banten Lor (Banten Utara).
Bahasa Jawa Banten atau bahasa Jawa dialek Banten ini
dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang.
Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh bahasa Sunda dan
Betawi.
Bahasa Jawa di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu
tingkatan bebasan (krama) dan standar.
Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf 'e', ada dua versi. ada yang diucapkan 'e' saja, seperti pada kata "teman". Dan juga ada yang diucapkan 'a', seperti pada kata "Apa". Daerah yang melafalkan 'a' adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande, Kopo, Pamarayan, dan daerah timurnya. Sedangkan daerah yang melafalkan 'e' adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu, Ciruas, Anyer, dan seberang baratnya.
Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf 'e', ada dua versi. ada yang diucapkan 'e' saja, seperti pada kata "teman". Dan juga ada yang diucapkan 'a', seperti pada kata "Apa". Daerah yang melafalkan 'a' adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande, Kopo, Pamarayan, dan daerah timurnya. Sedangkan daerah yang melafalkan 'e' adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu, Ciruas, Anyer, dan seberang baratnya.
Contoh :
- 'kule', dibaca 'kula' atau 'kule'. (artinya, saya)
- 'ore', dibaca 'ora' atau 'ore'. (artinya, tidak)
- 'pire', dibaca 'pira' atau 'pire' (artinya, berapa)
Contoh :
(B.Jawa Banten tingkat bebasan)
(B.Jawa Banten tingkat bebasan)
- Pripun kabare? Sampean ayun ning pundi?
- Sampun dahar dereng?
- Permios, kule boten uning griyane kang Haban niku ning pundi?
- Kasihe sinten?
- Kasihe Haban Ghazali lamun boten salah.
- Oh, wenten ning payun koh.
- Matur nuhun nggih, kang.
- Yewis, napik dolanan saos nggih!
- Kang Haban! Ning pundi saos? boten ilok kepetuk!
- Napik mengkoten, geh!
- Kule linggar sareng teh Toyah ning pasar.
- Ayun tumbas sate Bandeng sios.
(B.Jawa Banten tingkat standar)
- Kepremen kabare? Sire arep ning endi?
- Wis mangan durung?
- Punten, kite ore weruh umahe kang Haban kuwen ning endi?
- Ngarane sape?
- Ngarane Haban Ghazali ari ore salah.
- Oh, ning arep koh.
- Nuhun ye, kang.
- Yewis, aje memengan bae ye!
- Kang Haban! Ning endi bae? ore ilok kependak!
- Aje mengkonon, Geh!
- Kite lunge karo teh Toyah ning pasar.
- Arep tuku sate Bandeng siji.
b. Dialek
Cirebon
Dialek Cirebon atau dinamai Basa Cerbon itu ialah
sejenis dialek Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai
daerah Cilamaya (Karawang), Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara (Subang),
Indramayu, sampai Cirebon dan Losari Timur, Brebes, Jawa Tengah. Dahulu dialek
ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang
merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad 15-17. Sebelumnya,
bahasa ini tak berbeda dengan Bahasa Jawa Dialek Solo, namun sejak abad 17,
dialek Cerbonan mulai terlihat bedanya karena pengaruh lokal juga pengaruh Bahasa
Sunda. Dialek Cirebon juga tetap mempertahankan bentuk-bentuk kuno Bahasa Jawa
Tengah (seperti kalimat-kalimat dan pengucapan) yang sudah tak digunakan lagi
oleh Bahasa Jawa Baku. Dialek Cirebon diajarkan di sekolah-sekolah wilayah
Cirebon bersama dengan Bahasa Sunda. Di daerah Cirebon, dialek ini dituturkan
oleh mayoritas penduduknya kecuali kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan
Majalengka dan Kuningan yang menggunakan Bahasa Sunda. Dialek Cirebon lebih
dominan di Indramayu.
Contoh :
• Kepriben kabare, cung? : Bagaimana kabarnya,
anak-anak?
• Isun lungA sing umah : Aku pergi dari rumah
• Aja sok gumuyu bae : Jangan tertawa saja
• Sira arep mendhi? : Kamu mau ke mana?
c. Dialek Tegal
Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan
bagian barat. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda
dengan daerah lainnya. Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Dialek Tegal
merupakan salah satu kekayaan bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki
kosa kata yang relatif sama dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak
serta- merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain: perbedaan
intonasi, pengucapan, dan makna kata. Wilayah yang termasuk ke dalam kelompok
ini antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal.
Dialek-dialek di Tegal beda dengan dialek Banyumas,
Purwokerto yang diucapkan secara kental. Juga Pekalongan yang diucapkan secara
datar. Dalam pengucapan sama namun ada kata-kata yang beda. Dialek Tegal
memiliki kata "Nyong","Bae","nDean",
"lah" "thok","ko", "belih" dsb. Kata
"Aku ora ngerti" (Aku tak mengerti) menjadi " Nyong ora
ngerti". Kata "mlebu nyang endi" (masuk ke mana) menjadi
"manjing ngendi". Kata "aku ora lho" (aku tidak, lho)
menjadi "Nyong ora ko". Kata " singkong lan nongko"
(singkong dan nangka) menjadi "munthul nangka thok". Sama seperti
bahasa Jawa yang lain Dialek Jawa - Tegal juga mengalami kesulitan untuk
mengucapkan kata ganti orang pertama jamak. Kata-kata seperti "kami"
atau "kita" dalam bahasa Indonesia paling-paling diserap juga menjadi
"kita" dengan agak sedikit dibaca "o" dibelakangnya.
Ada yang menggunakan serapan dari jawa gaya solo menjadi "Awakke Dewe"
yang diucapkan dalam dialek tegal menjadi "Awake Dewek" contoh:
"Kami ingin, anda ikut bermain sepak bola di lapangan banteng"
menjadi "Awake dewek pengin kowen melu maen trejek ning bulakan sapi
lanang".
Contoh Dialek - "Kowen pan maring endi?"
(Kamu mau kemana?) - "Nang Kene
Kyeeh..!" (Disini niih ..)
d. Dialek
Banyumasan
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak
Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat
Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di
Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda
dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan
masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Bahasa Banyumasan
terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena
dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck,
mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah
sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan,
Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah
(Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa
Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan
Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi
menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat
mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek
Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap
diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di
wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran
huruf mati dibaca penuh, misalnya katae nak oleh dialek lain bunyinyae na,
sedangkan dalam dialek Banyumasan dibacae nak dengan suara huruf 'k' yang
jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau
Ngapak-ngapak.
Menurut para pakar bahasa, dari waktu ke waktu bahasa jawa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan
sebagai berikut:
·
Abad ke-9 -
13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
·
Abad ke-13 -
16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
·
Abad ke-16 -
20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
·
Abad ke-20 -
sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
(Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal)
(Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal)
Bahasa jawa dialek Banyumasan sendiri ditemukan
disepanjang daerah aliran sungai Serayu yang berasal dari kompleks Sindoro –
Sumbing ( koentjaraningrat, 1984: 23 ). Hal tersebut tidak bertentangan dengan
sejarah Banyumas yang menyatakan, wilayah Wirasaba pada masa Majapahit dan
wilayah Pasirluhur pada masa Demak luas, yaitu daerah Krawang ( batas barat )
dan Sindoro – Sumbing ( batas timur ). Bahasa Jawa dialek Banyumasan tergolong
bahasa yang lebih tua dibandingkan bahasa Jawa baku yang baru muncul pada masa
Mataram Islam. Penelitian Esser ( 1927 – 1929 ) menunjukan gejala tersebut.
Banyak kosakata dialek Banyumas yang berasal dari bahasa Jawa kuna dan sunda.
Dialek Banyumas lebih dekat dengan bahasa teks Pararaton ( Jawa
pertengahan ). Banyumas merupakan daerah Majapahit paling barat dan yang masih
melestarikan bahasa Jawa pertengahan yang berkembang pada masa akhir
Majapahit.
Bahasa dialek Banyumasan banyak sekali bedanya
dibandingkan bahasa dialek Yogyakarta – Surakarta . Perbedaan yang utama yakni
akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego'
(nasi), di wilayah Banyumasan orang makan
'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya
kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek
Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah
sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Selain itu, bahasa Jawa dialek Banyumas eksis bukan
hanya dalam bentuk lisan saja melainkan juga tulisan. Di Banyumas ditemukan
naskah Babad Banyumas tertua dari abad ke- 16 atau 17 berdasarkan huruf
Jawa yang dipakainya ( Hole,1887:6) dan memakai bahasa dialek Banyumas. Ada dua
naskah lain, yaitu Babad Wirasaba Kejawar dan Sejarah Wiarasaba yang agak dekat
dengan dialek banyumas.
Bahkan, ada naskah cerita wayang kulit yang
kemungkinan besar dari Purbalingga yamg berjudul Palasara, Pandoe, en Raden
Pandji dan lain – lain yang dipublikasikan oleh T.Roorda 1869 ( Martinus
Nijhoof ) yang memakai dialek Banyumas. Pada cerita Lampahan Kramane Palasara,
dialek Banyumas muncul pada adegan percakapan ( pocapan ) yang berkaitan dengan
tokoh – tokoh panakawan dan janturan. Adegan pocapan menimbulkan kesan
bahwa dialek Banyumas di dominasi lawakan. Anggapan tersebut memang ada
benarnya, tetapi dalam adegan serius pun muncul dialek Banyumas panakawan.
Berikut contoh kutipan adegan pocapan :
Palasara, ” Kulup, aja takon nuyang ibumu. Ibumu wis
mulih myang negara wiratha. Kakang Semar! Pulunanmu iki gawanen dedolan mrana,
supaya laliya marang ibune.”
Semar, “ Ayo Nak Nla Gareng, Petruk rewangana ngeneng
– ngenengi bendaramu. Mriki Den, kula gendhonh dolan mrika ngalun – alun
mengkin padha tuku wedhus gembel.”
Abiyasa, “ Moh Wa, aku ora dhemen wedhus. Mayo padha
nusul mring ibuku bae! “
Semar, “ Deh ge punapa nusul ibu, adoh – adoh akeh
macan.”
Abiyasa, “ Bapak, mayo kowe bae jujugna nusul ibu.”
Semar, “ Deh pancen putra bengkeng. Nala gareng Petruk
priye sing kono wis ora direwes.”
Nala Gareng, “ Yang aku maning Rama, wong pangawak
paok diguguwa.”
Petruk, “ Yang wegah! Mongsa direwesa, mengko mundhak
tangise bae. Wong karepane bendara susahedigawe gedhe, lomoh nyandhing bocah
anteng mendah inyong duwe bojo cluthak, slingkuh, kolondene ya dak emong bae.”
Wilayah yang menggunakan diaek Banyumasan antara lain
Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong.
e. Dialek
Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Dialek Bumiayu atau Bahasa Bumiayu, adalah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Bumiayu (Kabupaten Brebes) dan sekitarnya. Dialek ini
sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Dialek Banyumas dan Dialek Tegal, kosakata dan cara pengucapannya
juga mirip. Hal yang membedakan dialek Bumiayu dengan banyumas hanya pada intonasi dan pemilihan kata.
Ada sebagian kata yang umum dipakai oleh orang
Banyumas tetapi tidak digunakan oleh orang Bumiayu. misalnya kata masuk, kata yang
biasa dipakai oleh orang Banyumas adalah mlebu
tetapi orang Bumiayu memakai kata manjing, kedua kata
tersebut sama-sama bahasa Jawa dan memiliki arti yang sama yaitu masuk kedalam
ruangan.
Jika diteliti lebih jauh, bahasa Bumiayu banyak
dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Dalam tradisi budaya Jawa, bahasa
Sansekerta berada di atas Krama Hinggil, bahasa Jawa yang dianggap paling
halus. Kata "manjing", misalnya, sering dipakai oleh para dalang
dalam cerita perwayangan. Kata "manjing" digunakan secara khusus
untuk menggambarkan ruh yang masuk ke dalam diri sang Arjuna. Tapi di Bumiayu,
kata tersebut digunakan untuk sembarang kalimat yang berkonotasi "masuk".
"Ayame manjing umah", misalnya, berarti "ayamnya masuk
rumah."
Dialek Bumiayu juga sering menambahkan akhiran ra
(diucapkan rha), belih untuk mengakhiri kalimat, hal ini mungkin
untuk menegaskan maksud dari kalimat tersebut. Misal:
- Ana apa, ra? --> Ada apa ?
- Rikané masa ora ngerti, ra ? --> Kamu masa ngga ngerti ?
- Wis mangan, belih ? --> Sudah makan belum ?
Pan maring ngendi ? --> mau pergi
kemana ?
- Kelompok pertama di atas sering disebut dengan bahasa Jawa
Dialek ini
diucapkan oleh masyarakat dari Kecamatan BumiayuBuaran-Bumiayu
Paguyangan, Sirampog, dan Tonjong (Kabupaten Brebes). ngapak-ngapak.
2.2.
Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Tengah :
a. Dialek
Pekalongan
Dialek Pekalongan termasuk dialek-dialek Jawa yang
dituturkan di pesisir utara tanah Jawa daerah Jawa Tengah terutama di
Kotamadya/Kab. Pekalongan. Meski ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda
dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal dan
Semarang. Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah
Kesultanan Mataram. Awalnya dialek Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang
dipergunakan di daerah Kesultanan Mataram. Namun seterusnya ada zaman di mana
bahasa-bahasa Jawa terutama dialek Pekalongan mulai terlihat berbeda karena
asimilasi dengan budaya lain. Dialek Pekalongan baku zaman itu tadi sudah tak
digunakan lagi pada dialek Pekalongan zaman sekarang.
Zaman sekarang banyak orang Pekalongan yang bekerja
menjadi Juragan Batik, tenun dan Tekstil dan tetap menggunakan dialek yang bisa
dimengerti orang Pekalongan sendiri.Adanya para juragan, pedagang juga para
nelayan di daerah kota dan pinggiran mewujudkan dialek ini tadi. Dialek
Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara daerah
Tegal (bagian barat) ,Weleri (bagian timur) dan daerah Pegunungan Kendeng
(bagian selatan). Termasuk bahasa yang "sederhana" namun
"komunikatif" dan mudah dipelajari serta digunakan. Maka oleh orang
Jogya/Solo dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti. Oleh orang Tegal
termasuk dialek yang sama derajatnya namun sulit dimengerti. Dialek Tegal
banyak menggunakan istilah : Bae, nyong, manjing, kaya kuwe,.. sampai diucapkan
kental . Sementara dialek Pekalongan sama namun diucapkan tak begitu kental ("datar"
dalam pengucapan).Artinya ada dalam dialek Pekalongan kosakata tadi
dipergunakan dan sama artinya.
Ada lagi perbedaan lainnya, contohnya:
menggunakan pengucapan :"Si"
,"Ra","Po'o","Ha'ah pok", "lha",
"Ye". Adanya "kosakata" ,"Kokuwe" tegese
"sepertimu", "Tak nDangka'i" artinya "kukira".
"Jebhul no'o" artinya "ternyata". "lha mbuh"
artinya " tidak tau", "Ora dermoho" artinya "tak
sengaja". "Wegah ah" artinya "tak mau". "Nghang
priye" artinya "bagaimana", "Di Bya bae ra" artinya
" dihadapi saja", dan masih banyak lainnya.
Contoh kalimat : "Lha kowe pak ring ndi si?"
( kamu mau ke mana?), "Yo wis kokuwe Po'o ra". ( Ya sudah begitupun
tak apa), “ tak ndangka'i lanang jebulno'o wadhok” (kukira lelaki ternyata
perempuan).
Eratnya budaya orang Pekalongan dengan budaya Arab dan
Tiong Koq menambah kosakata dan dialek di Pekalongan, contoh : “Wallahi temenan
Po'o nyong ra ngapusi, yakin” ( Demi Allah aku tak berdusta, yakin), “ Ya Allah
..ke ra mosok ra percoyo si” (Ya Allah , kok tak percaya sekali, sih ).
Dari bahasa Cina : lhe guwe Bah cilik Congkle (ia anak
Cong Lee). Biasanya para keturunan Tiong Hoa juga berbicara campur dengan
bahasa Indonesia. Contoh : Lha tadi sudah tak "bilangke" tapi
"ndak ngerti" yo wis ... (Tadi sudah kukatakan namun tak mengerti ya
sudahlah).
Di atas itu semua dialek yang ada di dalam kota
Pekalongan.
Agak minggir dari daerah kota, ada bedanya
sedikit-pada pengucapan-banyak huruf vokal/konsonan yang diucapkan agak kental,
dengan tambahan "huruf h dalam pengucapan",
contoh :
"banyu" (air) diucapkan "benhyu".
"Iwan" diucapkan "i-whan".
"bali" (pulang) diucapkan
"bhelhi".
"Brahim" (Ibrahim) diucapkan
"Brehiim"
“Wis ho , nyong pak bhelhi ndikik ..” ( Sudah, ya, aku
akan pulang dahulu)
Bentuk dialek di atas tadi dipergunakan di daerah
Batang (di bagian timur), Pemalang/Wiradesa (di bagian barat), Bandar/Kajen (di
bagian selatan).
b. Dialek Kedu
Dialek Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang
dituturkan di daerah Kedu tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo,
Magelang dan khususnya Temanggung. Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya
yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek "bandek"
(Yogya-Solo) dan dialek "ngapak" (Banyumas). Contoh: Kata-katanya
masih menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
• "Nyong": aku, tetapi orang Magelang
memakai "aku" orang Temanggung yang di kotanya juga menggunakan
"aku" di Parakan juga sebagian kecil menggunakan "aku"
• "njagong": duduk (bahasa Jawa standar:
lungguh)
• "Njur piye": Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar:
"banjur piye" atau "terus piye")
• "gandhul": pepaya
• "mbaca": membaca (bahasa Jawa standar:
maca)
• "mberuh" = (embuh ora weruh): tidak tahu
• "mbek" = (kambek , karo): dengan contoh
"mbek sopo?" artinya "dengan siapa?"
• "krongsi" = kursi (Temanggung)
• "petek poteh sekele koneng numpak dhugar
gejedud-jedud" = (dialek Prembun) yang berarti: ayam putih kakinya kuning
menumpang dokar kejedhod.
Adanya pengantar:e ee e,o oo o, lha kok,e halah, ha-
inggih, sering digunakan dalam tuturan basa-basi masyarakat Temanggung jika
lagi mengobrol. Ini menandakan jika orang Temanggung memang menyenangkan jika
diajak mengobrol.
c. Dialek
Semarang
Dialek Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang
dituturkan di Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah
Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda
dengan daerah lainnya, Yogyakarta, Solo, Boyolali dan Salatiga. Walau letak
daerah Semarang yang heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri,
Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek
yang dipakai memiliki kata ngoko, ngoko andhapdan madya di Semarang ada di
zaman sekarang.
• Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam
dialek semarang menjadi "Yo orak too ".
Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para
penduduk Semarang.
• Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam
dialek Semarang menjadi "kuwi barang" ("barang" diucapkan
sampai sengau memakai huruf h "bharhang").
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat
frase, misalnyaLampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo",
Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatang menjadi
"Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya.
Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan
minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya
"Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung Batu
tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya;
"Kau lho pak mu Nadri" artinya "Itu lho pamanmu dari
Wanadri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan menumpang
omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk
"Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota
Kijang" menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi menjadi
"mercy-kol".
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa,
Tiongkok, Arab, Pakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di
Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian
hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang
baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan,
Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi
dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang
sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membedakan dengan
dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti
"Piye, jal?" (=Bagaimana, coba?) dan "Yo, mesti!". Orang
semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada "Yo"
atau "Ya".
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel
"ik" untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya
tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman
:"Alangkah indahnya!", orang Semarang berkata: "Apik,ik!".
Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: "Sayang, orangnya pergi!",
orang Semarang berkata: "Wonge lungo, ik"!. Partikel "ik"
kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa
Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan
"He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah:
"semeh" Yang berarti "ibu" dan "sebeh" yang
berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sebeh"
sering dipakai dalam arti "mantra" atau "guna-guna"
d. Dialek
Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah adalah sebuah
dialek bahasa Jawa yang sering disebut dialek Muria karena dituturkan di
wilayah sekitar kaki gunung Muria, yang meliputi wilayah Jepara, Kudus,
Pati, Blora, Rembang. Ciri khas dialek ini adalah digunakannya akhiran -em
(dengan e pepet) menggantikan akhiran -mu dalam bahasa Jawa untuk menyatakan
kata ganti posesif orang kedua tunggal. Jadi kata "bukuem" berarti
"bukumu", "montorem" berarti "motormu",
"omahem" berarti "omahmu", dan sebagainya. Ciri lainnya
adalah sering digunakannya partikel "eh", dengan vokal e diucapkan
panjang, dalam percakapan untuk menggantikan partikel bahasa Jawa "ta".
Misalnya, untuk menyatakan: "Ini bukumu, kan?", orang Muria berkata:
"Iki bukuem, eh?"(Bahasa Jawa standar: "Iki bukumu, ta?").
Contoh lain :"Jangan begitu, dong!", lebih banyak diucapkan "Aja
ngono, eh!" daripada "Aja ngono, ta!"
Beberapa kosakata khas yang tidak dipakai dalam dialek
Jawa yang lain antara lain:
• "lamuk/jengklong" berarti
"nyamuk" (Bahasa Jawa standar: nyamuk atau lemut)
• "mbledeh/mblojet" berarti
"telanjang dada" (Bahasa Jawa standar: ngliga)
• "wong bento" berarti orang gila"
(Bahasa Jawa standar: wong edan)
• "pet" berarti "pipa atau air
ledeng" (Bahasa Jawa standar: ledeng)
• "neker" berarti "kelereng"
(Bahasa Jawa standar: setin)
• "jengen" berarti "nama"
(Bahasa Jawa standar: jeneng)
• "ceblok" berarti "jatuh"
(Bahasa Jawa standar: tiba)
e. Dialek
Surakarta
Dialek daerah Surakarta tidak jauh berbeda dengan
daerah Yogyakarta.
f. Dialek
Yogyakarta
Dialek di daerah Yogyakarta dikenal dengan istilah
dialek baku(bahasa jawa baku). Hal ini disebabkan karena bahasa jawa yang
digunakan tidak lagi menggunakan bahasa jawa kuna (sudah mengalami
perubahan/perkembangan). Orang Yogya(dibaca Yogjo) memiliki ciri khas
tersendiri yaitu agak senang menyingkat omongan, atau menambahi kalimat agar terdengar
mantap.
.
sumber: http://kisah-anak-bangsa.blogspot.com/2012/02/cakrawala-bahasa-jawa.html
Makasih infonya gan Kunbal ke http://tips-blogger-pemula.blogspot.com
BalasHapussenang tu asal usul bahasaku thanks..ilmunya
BalasHapus