RINGKASAN
BUKU
Sebuah karya berjudul “Etika
Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa” ini
merupakan hasil penelitian Franz Magnis-Suseno selama bertahun-tahun. Sebuah
buku setebal lebih dari 250 halaman, diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya
dari judul aslinya Javanische
Weisheit und Ethik, Studien zu einer östlichen Moral. Berikut ini
ringkasan isi bukunya:
Bab I Pendahuluan
Pada bab pendahuluan bersisi mengenai deskripsi
pengertian-pengertian serta batasan-batasan yang diperlukan sebagai standart
penulisan karya ilmiah. Antara lain:
1. Mengenali Etika Jawa, Untuk apa?
Alasan Magnis dalam meneliti etika Jawa, pertama: budaya
masyarakat Jawa mengalami keterasingan. Kedua:
mencari sudut pandang lain pasalnya etika secara eksklusif hanya berkembang di
barat.
2. Dua Pembatasan
Pertama: penelitian ini bukanlah penelitian Antropologis
meski datanya diperoleh dari data-data antropologis dan sosiologis. Kedua:
cakupan kajiannya hanya seputar “orang Jawa”, “masyarakat Jawa” dan “etika
Jawa”.
3. Apa itu “Orang Jawa”
Orang Jawa, masyarakat Jawa?
4. Apa itu “Etika”
Pengertian etika Jawa dalam buku itu ialah keseluruhan
norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui
bagaimana seharusnya menjalani hidupnya.
5. Susunan Buku ini
Berisi mengenai teknis penulisan buku.
Bab II Pengantar ke dalam Masyarakat Jawa
Secara garis besar bagian ini berisi pembahasan mengenai
lingkungan, masyarakat dan sejarah Jawa.
1. Pulau Jawa
Berisi data-data geografis mengenai Pulau Jawa
2. Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa ialah mereka yang menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa ibu dan secara geografis mereka dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Menurut Magnis, secara sosial masyarakat Jawa dibedakan menjadi tiga,
yaitu: wong cilik (orang
kecil) yang terdiri dari kaum petani dan mereka yang berpendapatan rendah, priyayi yakni
para pegawai pemerintahan dann kaum intelektual, dan ketiga ndara atau kaum
ningrat dalam arti keluarga kerajaan.
3. Ringkasan Sejarah Jawa
a. Prasejarah
Berisi gambaran sosial-keagamaan masyarakat Jawa di masa
lampau.
b. Kerajaan-kerajaan Jawa Tengah Pertama
Magnis hanya menjelaskan bahwa peninggalan-peninggalan
berupa candi, arca serta prasasti dan lain-lain disinyalir sebagai bukti adanya
kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di Jawa Tengah.
c. Kerajaan-kerajaan Jawa Timur Pertama
Di sini dijelaskan mengenai keberadaan berbagai kerajaan
yang pernah berkuasa di Jawa Timur, mulai dari Kerajaan Airlangga sampai dengan
kerajaan di Kediri pada tahun 1222.
c.1. Kerajaan Majapahit
Rupanya Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang paling
berpengaruh dalam sejarah Jawa, secara panjang lebar Magnis membahasnya dalam
subbab ini.
c.2. Kedatangan Agama Islam dan Perkembangan
Selanjutnya
Dalam subbab ini Magnis menjalaskan mengenai nasib
masyarakat Jawa setelah kedatangan berbagai orang dari luar seperti pedangan
Gujarat dan juga Eropa. Pedagang dari Gujarat membawa kebudayaan Islam
sementara orang Eropa membawa kebudayaan modern, hal tersebut membawa pengaruh
yang sangat besar bagi kondisi sosial-keagamaan masyarakat Jawa, terlebih
setelah Belanda datang dan menjajah.
Bab III Dua kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa
Bertolak dari pemahaman Hildred Geertz, penjelasan Magnis
berfokus pada kaidah-kaidah moral yang berlaku dalam masyarakat Jawa.
1. Prinsip Kerukunan
a. Rukun
Rukun berarti keadaan harmonis. Namun demikian, menurut
Magnis, rukun lebih diartikan sebagai cara bertindak, yakni tindakan untuk
tidak mengganggu keselarasan hidup yang sudah ada, menghindari terjadinya
konflik masyarakat.
b. Berlaku Rukun
c. Rukun dan Sikap Hati
2. Prinsip Hormat
3. Etika Keselarasan Sosial
Bab IV Pandangan Dunia Jawa
Menurut Magnis “pandangan dunia” yakni semua keyakinan
deskriptif yang dipahami oleh manusia untuk menjelaskan realitas berdasarkan
pengalamannya. Masih menurut Magnis, yang menarik dari pandangan dunia
masyarakat Jawa ialah mereka tidak melihat relitas secara terpisah melainkan
satu kesatuan utuh dan bertolok ukur pada kondisi psikis tertentu, yakni;
ketenangan, ketentraman dan keseimbangan batin.
1. Alam Numinus dan Dunia
a. Kesatuan Numinus antara Masyarakat, Alam dan
Alam Adikodrati
Magnis menjelaskan bahwa ruang lingkup kehidupan orang
Jawa ialah masyarakat dan alam. Alam pun tidak hanya sebatas alam empiris
melainkan juga alam metempiris (gaib). Dan uniknya, alam empiris merupakan
perwujudan dari alam metempiris. Dengan kata lain, alam empiris merupakan
menifestasi adanya kekuatan gaib.
Orang Jawa pun, masih menurut Magnis, meyakini bahwa
keselamatan hidupnya bergantung pada kekuatan gaib tersebut. Dan karena itulah
mereka kemudian menyikapinya dengan mengadakan berbagai ritual, antara lain:
acara slametan,
ziarah makam, doa-doa, sesaji dan sebagainya.
b. Koordinasi
Kesatuan antara manusia dan alam, baik alam empiris
maupun alam metempiris bagi orang Jawa, menurut tinjauan Magnis, telah
melahirkan sebauh koordinat (perhitungan) tertentu. Perhitungan-perhitungan
tersebut dapat dijumpai dalam buku risalah yang disebut Primbon. Primbon memuat
berbagai macam perhitungan atau rumusan sakral yang sangat berguna bagi
kehidupan masyarakat Jawa.
c. Tempat yang Tepat sebagai Paham Kunci
Dalam hal ini nampaknya Magnis pun mengalami kesulitan
untuk menjelaskan “tempat yang tepat” dalam pandangan etika Jawa. Ia sendiri
mengakui bahwa tidak ada bidang eksistensi manusia yang semata-mata ditentukan
oleh hukum objektif. Melainkan orang Jawa, menurut Magnis, tidak sepenuhnya
menyadari eksistensi dirinya kecuali hanya sebatas memahami bahwa setiap perbuatan
pada akhirnya akan dikembalikan kepada kekuatan gaib yang “serba angker”
(kosmos).
2. Yang Numinus dan Kekuasan
Salah satu sisi dari pandangan dunia orang Jawa, yakni
menganggap bahwa individu-individu yang berkuasa memiliki pertalian khusus
dengan yang maha gaib.
a. Hakikat Kekuasaan
Menurut pengakuan Magnis, kekuasaan bagi orang Jawa bukan
semata-mata gejala sosial melainkan lebih merupakan menifestasi energi kosmos
yang menyeluruh.
b. Raja sebagai Pemusatan Kekuatan Kosmis
Raja, masih menurut penuturan Magnis, merupakan sosok
tertentu yang memiliki kemampuan untuk menyerap seluruh energi kosmos. Oleh
sebab itu, masyarakat Jawa memposisikan raja pada tingkatan sakral. Di samping
itu, raja juga dijadikan sebagai simbol kesejahteraan hidup.
c. Kraton sebagai Pusat Kerajaan Nominus
Selain raja, kraton sebagai tempat kediaman seorang raja
pun memiliki posisi yang istimewa bagi masyarakat Jawa. Magnis menganalogikan
bahwa kraton bagaikan sumber cahaya yang dapat menerangi daerah sekelilingnya,
dalam hal ini ialah seluruh wilayah kerajaan.
d. Kekuasaan dan Moral
Dalam paham kekuasaan masyarakat Jawa tertanam bahwa raja
merupakan sosok manusia linuwih,
adil, bijak dan dicintai rakyat karena mampu melindungi mereka dari marabahaya.
3. Dasar Nominus Keakuan
Keistimewaan seorang raja, berdasar rumusan Magnis bahwa
ia merupakan wadah kekuatan ilahi, yang sebetulnya, hal tersebut bisa berlaku
bagi setiap orang.
a. Kisah Dewaruci
Inti dari kisah Dewaruci yang dapat ditangkap dari penuturan
Magnis, bahwa Dewaruci merupakan inti dari kebatinan orang Jawa. Dengan melaui
laku tertentu setiap orang Jawa dapat berjumpa dengan dewarucinya
masing-masing, dengan kata lain “manunggaling
kawulo gusti” (bersatunya antara jasad dan batin). Ajaran moral yang
dapat dipetik dari kisah tersebut, bahwa inti dari hidup orang Jawa tidak
terletak pada manunggaling
kawulo gusti melainkan pengabdian sosial yang harus ditunaikan
setelah seseorang berhasil mencapai derajat tertinggi dari kehidupan.
b. Pengertian tentang Sangkan-paran
Sangkan-paran dalam arti harfiah ialah asal dan tujuan
hidup manusia. Pada intinya, pemaparan mengenai sangkan-paran ini Magnis hanya
menjabarkan intisari dari kisah Dewaruci di atas.
c. Sangkan-paran sebagai Praksis Kehidupan
Praksis sangkan-paran, menurut Magnis, untuk menjelaskan
bagaimana manusia berhadapan dengan hakikatnya yang sebenarnya, yakni memaknai
hidup. Kemudian secara panjang lebar Magnis memaparkan tentang kaidah ideal
kehidupan masyarakat Jawa.
d. Takdir
Takdir, berdasarkan penjelasan Magnis, merupakan
garis-garis hidup dalam tatanan kosmos. Masyarakat Jawa sangat meyakini bahwa
manusia tidak bisa melepaskan dirinya dari takdir yang membelenggu, hidup
semata-mata hanya mengikuti suratan takdir. Melawan nasib tidak ada gunanya,
kecuali hanya akan mengacaukan tatanan kosmos.
Bab V Koordinat-Koordinat Umum Etika Jawa
Masih menurut penjelasan Magnis bahwa koordinat-koordinat
umum etika Jawa dilambangkan dalam ungkapan sepi
ing pamrih, rame ing gawe dan memayu
hayuning bawana.
1. Sikap Batin yang Tepat
Dalam masyarakat Jawa terdapat sebuah ajaran moral yang
oleh Magnis disebut sebagai “sikap batin yang tepat” yakni sebuah pendirian
batin untuk selalu mengendalikan hawa nafsu dan egoisme (pamrih:
mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum). Dalam kepustakaan
Jawa untuk menggambarkan tindakan hawa nafsu tersebut dikenal istilah malima yakni madat, minum, maling, madon dan main. Oleh karena
itu, untuk menghindari dua hal yang sangat berbahaya tersebut masyarakat sering
melakukan laku tapa,
yakni suatu upaya untuk mengendalikan diri.
2. Tindakan yang Tepat dalam Dunia
Dari konseps mengenai “sikap batin yang tepat” muncullah
sebuah pandangan dalam masyarakat Jawa bahwa manusia jangan mengikat diri pada
dunia akan tetapi membebaskan diri dari dunia, namun demikian bukan berarti
menarik diri dari dunia. Dari satu pemahaman tersebut kemudian sampailah pada
suatu ungkapan “rame
ing gawe, sepi ing pamrih dan memayu
hayuning bawana”. Yang dimaksud rame
ing gawe yakni kewajiban untuk bekerja keras, sementara sepi ing pamrih
berarti jauh dari sifat-sifat egois. Bila kedua ungkapan tersebut digabung
melahirkan sebuah pengertian bahwa orang Jawa hendaknya selalu bekerja keras
namun juga harus mengindari pamrih
(imbalan). Kemudian memayu
hayuning bawana ialah memperindah kehidupan dunia dalam keselarasan
kosmos.
3. Tempat yang Tepat
Pengertian tentang “tempat yang tepat” merupakan satu
kesimpulan bahwa ada beberapa pertimbangan yang harus diindahkan oleh manusia,
sebagai konsekuensi dari pemahaman-pemahaman di atas. Pertimbangan tersebut
terkait dengan adat-istiadat, norma sosial, tata krama (unggah-ungguh) dan
tradisi.
4. Pengertian yang Tepat
Pandangan Jawa mengenai sikap batin dan tidakan yang
tepat didasari atas pemahaman tentang tempat yang tepat. Barang siapa yang
memahami tempatnya dalam masyarakat, ia juga memiliki sikap batin yang tepat
dan sengan demikian akan bertindak tepat. Dan sebaliknya, siapa yang membiarkan
dirinya dikuasai oleh nafsu-nafsu dan pamrihnya menunjukkan bahwa ia belum
mengerti tempatnya dalam kosmos. Artinya ia belum memiliki pengertian yang
tepat. Pengertian yang tepat bagi orang Jawa dikenal dengan istilah “rasa”, harus
dirasakan. Konon dalam rasa
realitas yang sebenarnya (kosmos) membuka diri.
5. Etika Wayang
Berdasarkan pemaparan Magnis, wayang merupakan sebuah
pagelaran yang sarat dengan ajaran moral. Ajaran moral yang disampaikan bukan
hanya mengenai keseimbangan antara baik dan jahat melainkan juga tentang
pluralitas di dalamnya. Setiap penokohan dalam wayang sudah memiliki pakem-nya
masing-masing, entah itu sebagai Pandawa
maupun Kurawa.
Dengan kata lain, Magnis menjelaskan bahwa masyarakat Jawa selalu membuka diri
bukan hanya terhadap hal-hal yang baik melainkan hal-hal jahat pun memperoleh
tempatnya, kedua-duanya dibutuhkan, setidaknya untuk menjaga stabilitas kosmos.
Bab VI Beberapa Masalah Khusus
Beberapa masalah khusus dalam etika Jawa yang perlu
diperhatikan yakni:
1. Keluarga, Keakraban dan Hormat
Pemahaman tentang rame
ing gawe dan sepi
ing pamrih, bagi orang Jawa sendiri ternyata dipahami sebagai
tuntutan hidup yang membelenggu. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu ruang
yang bebas dari tuntutan hidup tersebut, itulah keluarga. Magnis menambahkan
bahwa keluarga merupakan satu-satunya tempat di mana orang Jawa menjadi dirinya
sendiri, aman dan bebas dari segala tuntutan lahiriah dan batiniah.
2. Tentang Etika Seksual Jawa
Ada tiga hal yang menarik bagi Magnis dalam etika seksual
Jawa ini, pertama;
hubungan seksual tidak dipandang sebagai sesuatu yang problemtis secara moral.
Pertimbangan mengenai hubungan seksual di luar perkawinan bukan karena hubungan
seksualnya yang buruk melainkan karena akibat-akibat yang tidak diinginkan. Kedua; masyarakat
Jawa tidak memiliki harapan yang berlebihan di bidang seksual. Penyelewengan
terkait dengan hubungan seksual tidak diartikan sebagai suatu tindakan jahat
melainkan sesuatu yang harus diperbaiki, dengan kata lain, pengawasan
masyarakat harus diperketat. Ketiga;
mengenai hal ini masyarakat Jawa tidak berambisi untuk menegakkan prinsip moral
mutlak melainkan agar ketenangan dan keselarasan masyarakat tetap terjaga.
3. Ilmu Hitam
Bagi masyarakat Jawa keberadaan ilmu hitam sudah menjadi
sesuatu yang lumrah. Aktivitas laku
tapa atau semedi
merupakan suatu laku batin untuk dapat menyerap kekuatan-kekuatan kosmis
(kekuatan gaib), sementara kekuatan gaib tersebut dapat dipergunakan untuk
tujuan baik maupun tujuan jahat. Namun demikian, penggunaan kekuatan kosmis
tersebut hendaklah tetap harus memperhatikan sikap batin, tindakan serta
pengertian yang tepat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
4. Semar
Semar merupakan salah satu penokohan dalam pagelaran
wayang, namun demikian keberadaan semar ini memiliki filosofi hidup tersendiri,
keberadaan tokoh Semar memiliki koordinat terpenting dalam etika Jawa. Semar
merupakan figur rakyat jelata, sebagai abdi dalem ia bebas dari pamrih dan
hidupnya semata-mata hanya untuk menjalankan darmanya sebagai abdi dalem. Namun
dibalik sosoknya yang sederhana, ia memiliki kesempurnaan etis orang Jawa. Ia
hadir sebagai pelengkap dan sekaligus sosok inti kebatinan masyarakat
Jawa.
Bab VII Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup
Sejauh mana etika Jawa bisa dipandang sebagai etika dalam
pengertian yang sebenarnya (barat)? Dalam bab ini kita bisa menyaksikan
kepiawaian Magnis dalam memainkan kata, tentu berdasar analisis kritisnya.
1. Etika dan Aksi
Orang Jawa mengembangkan pengertian etisnya dengan rasa. Dengan kata
lain, rasa
merupakan epistem etika Jawa. Etika Jawa merupakan etika pengertian. Sekali
lagi Magnis menyampaikan bahwa etika Jawa bukanlah etika aksi yang bertujuan
terhadap perubahan-perubahan tertentu melainkan suatu proses pematangan. Etika
Jawa ini tidak bisa disandarkan dengan etika Aristotelian, etika Jawa juga
bukan etika passivitas.
2. Kedudukan Keutamaan-keutamaan Moral
Keselarasan dalam etika Jawa memiliki kedudukan istimewa,
keselarasan tersebut ialah membatasi diri dan ketersediaan memenuhi kewajiban (rame ing gawe, sepi ing pamrih).
Sebuah keutamaan yang bersifat formal dan negatif. Dengan kata lain, etika Jawa
tidak menekankan apa yang dituntut melainkan apa yang harus dicegah.
3. Relativasi Baik dan Buruk
Salah satu ciri etika yang menekankan fungsi kehendak,
kata Magnis, ialah membedakan secara tajam antara yang baik dan yang jahat.
Sementara itu berbeda dengan etika Jawa yang justeru malah memperlukan entitas
keduanya. Dalam hal ini ada dua hal yang menarik perhatian Magnis, yakni pertama; tindakan
salah dalam etika Jawa tidak diartikan sebagai kehendak buruk melainkan karena
kurangnya pengertian (durung
ngerti). Kedua;
etika Jawa memberi pamahaman bahwa yang jahat bukanlah sesuatu yang
tidak boleh ada. Hal ini dipertegas dengan sebuah pemahaman bahwa tindakan yang
tepat selalu relatif terhadap tempat dan keadaan.
4. Moral dan Estetika
Tolok ukur yang dipakai orang Jawa untuk memahami
perilaku etisnya dengan kategori halus-kasar. Hal tersebut sangat beralasan
bahwa kehalusan merupakan hakikat dari realitas kosmis yang berada di balik
alam lahiriah.
5. Etika Kebijaksanaan
Tuntutan dasar etika Jawa terletak pada penyesuaian diri
terhadap lingkungan serta memenuhi kewajiban-kewajiban yang berlaku.
Kategorisasi dalam etika Jawa bukanlah antara yang baik dan jahat melainkan
antara yang bijaksana dan yang bodoh. Siapa yang tidak memenuhi tuntutan etika
Jawa dianggap sebagai yang bodoh, bukan jahat.
Bab VIII Etika Jawa dan Relativisme
Di sini, secara argumentatif Magnis berusaha mencari
benang merah antara etika Jawa dan etika barat. Sampai kemudian ia menyimpulkan
bahwa etika Jawa merupakan etika kebijaksanaan sementara etika barat merupakan
etika kewajiban. Hal tersebut ditujang oleh beberapa pengertia.
1. Perbedaan antara Etika Jawa dan Etika Barat
Perbedaan antara keduanya terletak pada pertama;
prinsip-prinsip keselarasan. Kedua;
etika kebijaksanaan mengenal kewajiban melainkan tidak dalam pengertian
kategoris. Ketiga;
penekanan dalam etika kebijaksanaan ialah tindakan yang bijaksana bukan tekanan
batin.
2. Relativisme Etis?
Akhirnya Magnis menyimpulkan bahwa etika Jawa dan etika
barat harus dipahami dalam wilayahnya masing-masing karena keduanya berangkat
dari pemahaman yang berbeda mengenai kosmis.
3. Tahap-tahap Perkembangan Kesadaran Masyarakat
Moral Masyarakat?
Di sini, Magnis berusaha untuk menjelaskan etika Jawa
ditinjau dari kategrisasi Lowrence Kohlberg. Tapi kemudian ia juga mengkritisi
sejauh mana pendapat Kohlberg memeiliki relevansi terhadap etika Jawa.
4. Sebagai Penutup
TINJAUAN
1. Apresiasi
Franz Magnis-Suseno merupakan seorang peneliti yang
sangat serius dengan pekerjaannya, hal tersebut nampak sekali dalam karya tulis
tersebut. Saya sendiri sendiri sulit membayangkan seberapa besar semangatnya
untuk mendaptkan data-data langka tersebut, apalagi bila mengingat bahwa
teks-teks aslinya tertulis dalam bahasa Jawa klasik sementara ia sendiri bukan
orang Jawa, bahkan bukan orang yang akrab dengan budaya Jawa. Meskipun
data-data yang ia pilih merupakan data-data dari para antropolog namun ia mampu
menguraikannya secara filosofis, tentu karena ia memiliki latar belakang
filsafat yang sangat kuat.
Sebagai orang Jawa, saya pribadi merasa sangat terbantu
oleh penuturan Magnis dalam buku tersebut dan tentunya ada banyak hal yang baru
saya ketahui setelah membaca karya tulis tersebut. Dan bahkan sebagai orang
luar, pemahamannya mengenai etika Jawa telah melebihi orang asli Jawa yang
tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari hal yang sama.
Sebagai peneliti, usahanya untuk menjaga objektifitas
patut diacungi jempol terlebih ketika ia berusaha menyandingkan antara etika
Jawa dan etika Barat. Sebagai bentuk kehati-hatiannya, ia tidak serta-merta menghakimi
bahwa etika Jawa begini sementara etika barat begitu. Melainkan ia berusaha
untuk mencari titik temu di mana letak persamaan dan perbedaan keduanya.
2. Tanggapan Kritis
Namun demikaian, menurut hemat kami, Magnis belum
sepenuhnya menjelaskan apa dan bagaimana etika Jawa. Hal ini terlihat ketika ia
mencoba memberi batasan mengenai apa yang dimaksud dengan Jawa. Dalam
penelitian ini, ia belum menjelaskan etik Jawa yang mana padahal etika Jawa
memiliki banyak versinya. Bila kita berpegang bahwa bahasa menunjukkan budaya,
kita bisa melihat ada berapa versi bahasa yang berlaku di Jawa dan setiap
bahasa tentu memiliki pengertian yang berbeda mengenai budaya maupun etikanya.
Dalam penulisannya, tampaknya Magnis juga mengalami
sedikit kekacauan. Misalnya ketika membahas tentang Wayang dan Semar misalnya,
dua hal tersebut merupakan sesuatu yang tak bisa dipisahkan akan tetapi ia
membahasnya dalam bab yang berbeda yang akhirnya adanya hubungan di antara
keduanya menjadi tidak nyambung.
Nampak sekali Magnis pun begitu berpedoman pada hasil
penelitian Clifford Geertz, terutana dalam penjelasannya mengenai struktur
sosial masyarakat Jawa. Padahal sebagaimana kita maklumi tesis Geertz tersebut
masih menjadi polemik yang tak berkesudahan.
Dalam aspek kesejarahan, penjelasan Magnis tidak begitu
memukau. Ia juga tidak menjelaskan secara lebih jauh mengnai asal-muasal
(sejarah) mengenai ritual tertentu yang berlaku bagi masyarakat Jawa. Ia hanya
berusaha menarik sisi filosofis dari data-data yang ia jumpai dalam penelitiannya.
Tentu secara teknis, ada beberapa istilah yang
pemahamannya kurang sesuai atau kurang lengkap, atau bahkan terkesan
dicampur-adukkan.
Kalau diibaratkan dengan orang melihat rumah, Magnis baru
sampai di pelataran rumah dan belum sempat melihat ke dalam. Hal ini nampak
dalam pemaparannya yang terkesan deskriptif dan tidak menyentuh dengan apa yang
disebut rasa.
Kekeliruan fatal ialah ketika laku
tapa yang sangat terkait dengan rasa
hanya dijelaskan deskriptif-filosofis padahal kita tahu bahwa alam kebatinan
Jawa bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ada
satu ungkapan bahwa kita baru bisa tahu apa itu laku, tentu bila kita nglakoni.
3. Kesimpulan
Secara umum hasil karya tersebut patut dipertimbangkan,
tentu karena ia memiliki banyak data-data yang tidak dimiliki oleh peneliti
lain. Meski kemudian, ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar