Setiap
masyarakat memiliki tradisi (adat)[1] tertentu yang berbeda dengan
tradisi pada masyarakat yang lain. Khususnya, pada masyarakat di Desa
Sidomulyo[2] yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa[3] dan beragama
Islam memiliki tradisi (adat) Jawa yang masih cukup kental, baik dalam
persoalan tatacara perkawinan, tradisi kematian, tujuh bulanan
(tingkeban/mitoni) dalam masa kehamilan, tradisi kelahiran dan
lain-lain. Dalam penelitian ini, penulis khusus mengkaji proses tradisi
(adat) Jawa di Sidomulyo mengenai tujuh bulanan (tingkeban/mitoni).
Bagi
masyarakat Jawa di Desa Sidomulyo, aturan adat masih diperpegangi dan
menjadi acuan dalam bersikap atau berprilaku[4] atau disebut budi
pekerti Jawa. Budi pekerti Jawa adalah fenomena hati atau bathin secara
sadar orang Jawa yang terpantul ke dalam tindakan. Dengan demikian,
budi pekerti Jawa berarti kesadaran total tentang dunia bathin kejawaan
dan praktek kejawaan. Dari makna semacam ini, dapat dikemukakan bahwa
budi pekerti Jawa merupakan watak dan perbuatan orang Jawa sebagai
perwujudan hasil pemikirannya.[5]
Makna
semacam itu, tidak jauh berbeda dengan pandangan Ki Hajar Dewantara
bahwa budi pekerti adalah merupakan prilaku seseorang yang didasarkan
kepada kematangan jiwanya. Kematangan jiwa akan melahirkan budi pekerti
yang luhur. Budi pekerti luhur artinya sikap dan prilaku seseorang di
samping di dasarkan kematangan jiwa (internal/daridalam) juga
diselaraskan dengan qaedah social yang berlaku di masyarakat sekitarnya
(eksternal/dari luar).[6] Pendek kata orang yang berbudi pekerti luhur
dalam bertindak akan menggunakan perasaan, pemikiran dan dasar
pertimbangan yang jelas. Jelas, artinya ada bingkai yang mengatur dan
tidak ngawur semaunya sendiri serta berdasarkan akal sehat.
Jadi,
budi pekerti Jawa dengan sendirinya merupakan akumulasi dari cipta
rasa-karsa orang-orang Jawa yang diaktualisasikan ke dalam sikap,
kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Budi pekerti Jawa ini akan
menggambarkan tabiat, watak, akhlak, dan moral, sekaligus mencerminkan
sikap bathin seseorang. Sikap bathin ini yang akan tercermin dalam
tingkah laku seseorang. Pencerminan bathin tersebut dalam wawasan
religius disebut akhlakul karimah (sikap dan tindakan yang mulia),
sedangkan dalam budaya Jawa disebut budi pekerti luhur. Orang Jawa yang
berbudi pekerti luhur, pada dasarnya sikap dan prilakunya akan dilandasi
pertimbangan baik dan buruk, kemudian memilih ke hal baik untuk
dijalankannya.
Sebagaimana
wawancara penulis dengan para sesepuh adat di Desa Sidomulyo, salah
seorangnya adalah Bapak Pardi[7] yang mengatakan bahwa orang Jawa yang
masih melakukan tradisi (adat) Jawa atau yang masih berprilaku
sebagaimana budi pekerti orang Jawa, maka ia akan selalu melakukan
kebaikan. Apalagi, agamanya Islam maka apa yang dia lakukan tidak akan
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sebab, aturan dalam adat
istiadat Jawa memiliki muatan-muatan nilai yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Bahkan, dalam setiap tradisi (adat) Jawa mengandung
filosofis yang berkesesuaian dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Seperti dalam tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni), mengandung nilai
pengajaran hidup yang luar biasa dan tradisi ritual masyarakat Jawa ini
tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Hal
inilah yang menarik bagi penulis untuk menelitinya lebih lanjut
bagaimana proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) yang dilakukan
masyarakat Jawa Muslim di Desa Sidomulyo.
DESA SIDOMULYO |
Sidomulyo adalah sebuh Desa yang berada dalam wilayah kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Dari segi lokasi, desa ini masih merupakan sebuah desa yang sangat dekat dengan garis pantai. Sebab, desa ini berbatasan dengan kelurahan Pangkalan Dodek Lama, Pangkalan Dodek Baru, Desa sei Buah Keras, dan Desa Nenassiam yang berbatasan langsung dengan garis sungai Pagurawan yang berhubungan langsung dengan menuju lautan. Namun, mayoritas penduduk di Sidomulyo bukanlah nelayan sebagaimana desa-desa yang lain yang berdekatan dengan garis pantai, justru mata pencaharian penduduk adalah petani yang mengolah tanahnya untuk ditanam padi walaupun hanya mengandalkan curah hujan semata-mata. Hal ini, menjadikan social cultural masyarakat Jawa yang petani di Sidomulyo berbeda dengan masyarakat lain yang notabene sebagai nelayan. Nama Sidomulyo, terambil dari dua suku kata “Sido” dan “Mulyo”. Sido artinya jadi dan Mulyo artinya mulia. Jadi, Sidomulyo adalah menjadi sebuah desa yang memiliki kemuliaan baik dari segi materi maupun immateri. Menurut para sesepuh di sana, konon Sidomulyo dahulu merupakan desa yang sangat disegani dan memiliki banyak keistimewaan khususnya dari segi produktifitas pertanian, peternakan, keamanan desa, kekayaan budaya Jawa (Seni wayang kulit, ludruk, kuda kepang, dan lain-lain). Sehingga layaklah dinamakan Sidomulyo (menjadi mulia).[8] Bisa dikatakan bahwa dari sudut pandang antropologis, desa Sidomulyo dahulu termasuk desa yang superior dari kemakmurannya secara materi dan immateri. Hal ini, tentunya juga masih dirasakan penulis sewaktu kecil yang masih merasakan kenyamanan dan ketentraman dalam suasana Desa.[9] Warga Desa Sidomulyo, menggunakan bahasa Jawa tapi kasar (ngukuh), sangat sedikit sekali yang bisa berbahasa Jawa halus. Hal ini menunjukkan sudah terjadi pergeseran nilai-nilai pada masyarakat sehingga tradisi (adat) Jawa mulai terpinggirkan atau dinomorduakan. Namun, bukan dalam artian tradisi (adat) Jawa di Sidomulyo telah hilang. Masih ada orang-orang Jawa yang concern dengan tradisi Jawa itu sendiri walaupun jumlahnya sangat sedikit. Rendahnya pengamalan masyarakat Jawa terhadap tradisinya ini juga membawa rendahnya pengamalan orang Jawa yang notabene beragama Islam terhadap ajaran agamanya tersebut. Hal ini, diakui oleh sesepuh masyarakat Jawa di Sidomulyo. Akhirnya, saat sekarang ini kondisi Desa Sidomulyo tidak lagi seperti dahulu. Di setiap aspek tidak lagi bisa dihandalkan, baik pertanian, peternakan, budaya (culture), agama dan lain-lain. Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah seiring hilangnya kesadaran masyarakat Jawa di Sidomulyo akan falsafah hidup dalam budi pekerti Jawa. |
TRADISI TUJUH BULANAN (TINGKEBAN) |
Landasan Historis Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal[10], yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun. Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.” Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya. Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur. Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin. Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat. Beberapa pantangan yang patut dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga mengarah pada budi pekerti Jawa luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang makan buah yang melintang (misalnya buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi di perut tak melintang. Jika posisi melintang akan menyulitkan kelahiran kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan kesehatan, karena buah kepel sebenarnya panas jika dimakan, sehingga bila terlalu banyak akan berakibat pula pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak boleh duduk di depan pintu dan di lumping tempat menumbuk padi, sebenarnya memuat nilai etika Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil tak dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian juga akan memalukan dan tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang menyembelih hewan, sebenarnya terkandung makna budi pekerti agar tidak menganiaya makhluk lain. penganiayaan juga merupakan tindakan yang tak baik. Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora ilok’ kalau meyembelih hewan, ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak dan perilaku yang dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih berhati-hati. Di samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan tidak mencacat atau membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya tidak cacat, adalah langkah hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar pasangan tersebut tidak semena-mena kepada orang lain yang cacat. Proses selamatan mitoni dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu krobongan. Krobongan adalah bilik yang terbuat dari kepang (anyaman bambu) dan pintunya menghadap ke timur, dihiasi dengan tumbuh-tumbuhan. Krobongan adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu hamil dan suami ketika melahirkan anak nanti harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti ibarat memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun maksud pintu krobongan menghadap ke timur, dapat dikaitkan dengan asal kata timur dari bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya, timur adalah permulaan hidup (sangkan paraning dumadi). |
Proses Tradisi Tingkeban |
Khusus yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di Desa Sidomulyo, tentunya sudah kombinasi dari berbagai macam tradisi dan ajaran. Melihat landasan historis tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) yaitu berasal dari ajaran agama Hindu bukan berarti apa yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang notabene muslim di Sidomulyo adalah salah bentuk dari pengamalan ajaran agama Hindu. Hal ini, hanya bentuk keterpengaruhan dan warisan dari pendahulu (Seperti Sunan Kalijaga) yang berdakwah di tanah leluhur (pulau Jawa) dengan melakukan transformasi ajaran Islam melalui budaya dan tradisi yang berkembang dalam ajaran Hindu yang sudah terlebih dahulu dianut masyarakat Jawa. Hal ini diakui oleh sesepuh adat di Sidomulyo bahwa tradisi adat Jawa adalah warisan dari para leluhur, seperti apa yang dilakukan oleh kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau kita lihat pola dakwah yang dikembangkan oleh kanjeng Sunan Kalijaga adalah melalui tradisi atau budaya yang dianut oleh masyarakat kala itu. Hal ini yang menjadi salah satu factor keberhasilan dakwah Islam khususnya yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Makanya, dalam ritual tradisi adat Jawa, seperti tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dalam pembukaan yang dipimpin oleh sesepuh adat yang disebut ngujutne (pembukaan ritual) selalu diterakan nama kanjeng Sunan Kalijaga. Sebagaimana yang dituturkan oleh Bapak Pardi (Sesepuh Adat Jawa di Sidomulyo) kepada penulis. Secara lengkap, dalam setiap ritual tradisi adat ada proses ngujutne terlebih dahulu. Penulis dalam hal ini sering mengikuti tradisi ritual adat di Sidomulyo dan sering mendengar bagaimana sesepuh adat itu memulai acara tradisi ritual adat Jawa. Adapun konsep ngujutne, itu adalah sebagai berikut: “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mugi kalian matur dumateng poro Bapak lan sederek kulo, ingkang sami pelenggahan wonten panggenan nipun. Boten namung kulo di sambut wiraos kulo seklima dumateng kapure bageaken rawuh ipun Bapak lan ngaturaken sembah pangabekti dumateng pernah sepah la ngaturaken dumateng pernah nem sumrambah skadangepun. Boten among panjenengan sedoyo kerso ngilangken langkah bucal tempo sauntawes memenuhi undanganepun. Kapure anakseni niatipun bade ningkepi ingkang putro lan putri meniko dinten ingkang kepengker nampi rezeki sangking pangeran rupinikun nur Muhammad juluk ipun kunan jabang bayi ingkang dipun kandung mulai sewulan sehinggo pitung wulan. Derek adat meniko lan dipun tingkepi lan di pitung wulani. Senjeng titiwancine kunang jabang bayi lahir ampun enten alangan sak tunggal penopo. Ngajeng dumogineng wingking botenanmung ngedalaken rezekineng pangeran meniko terbagi sepindah ngedalaken bubur petak miwah abret. Bubur petak mukani sumerep roh sangking bopo, bubur abret mukani sumerep roh sangking biung, juluk ipun wamuko rahmuko kakang kawah adi ari-ari, kakang barep adineng ragil. Tebih tampowangenan, celak tampo senggolan. Milo dingabeteni ampunenten alangan sak tunggal penopo. Ngajeng dumugineng wingking sekul suci ulam sari kangge mukani sumerep kanjeng nabi Muhammad sak kerabat, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali nilo dihormati sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken pisang ayu sekar arum nyukani sumerep mbok dewi pertimah ingkang jumeneng wonten Mekah Medinah. Milo dimangebateni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken jajan pasar mukani sumerep malaikat ingkang bagi rezeki milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken panggang mukanen sumerep kanjeng sunan kalijogo ingkang jagi sak lebet ipun wangon sak jawanipun kurung lan sak jawinipun karang sagetombangsulono selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken ambengan kangge mukani sumerep kaki datok nini datok kaki danyang nini danyang seng barekso. Milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken sekul gulung nukani sumerep dinten pitu pekenan gangsal, sasi rolas windu wolu, wuku tigang doso, tahun sekawan papat jatingarang sak peninggalane, milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken among mukani sumerep kaki among nini among ingkange mong kunang jabang bayine ingkang dipun kandung binjing titiwancineng kunang jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Poro lencang lan poro sederek nyambut sederek nyambul damel wonten pawon mendek tuyo secawu’an ron setuek kajeng seceklek ingkang dipun damel di tedeni sawa pandungone ingkang dipun ducal ampun dadake kulo dadeake coyo nur coyo neng cekap semonten atur kawulo menawi lepat nuwun pangapunten menawi enten kekirangane anggen kulo ngekralaken nuwun mapan panggenan kiambak-kiambak lan nuwun pangapunten du mateng bapak sederek kulo ingkang pelenggahan boten among kulo sampuni. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Adapun kandungan dari “ngujutne” ini adalah proses tradisi ritual adat dari tingkeban itu sendiri. Jadi, hal yang paling penting terkandung dalam prosesi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) sebagaimana terdapat dan diulang berkali-kali dalam “ngujutne” adalah “jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo” (Bayinya lahir dengan selamat, tidak ada halangan sedikitpun, semuanya lancar dan sehat wal’afiat). Secara rinci proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Tradisi siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan sekar setaman oleh para sesepuh. Sekar setaman adalah air suci yang diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi. Sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh[11] (pitu) orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun (pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan. Kedua, setelah siraman selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan. Ketiga, wanita hamil lalu berganti-ganti kain batik sampai tujuh kali dan diakhiri dengan kain bermotif sidamukti. Makna simbolik dari ritual ini, dapat dirunut dari makna kata sidamukti yang berarti menjadi mukti (mulia) atau bahagia. Hal ini sekaligus terkandung harapan agar kelak anak yang dilahirkan dapat mendapat kemuliaan dan kesenangan hidupnya. Keempat, kain sidamukti yang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan. Kelima, seorang suami memegang kelapa gading muda, kemudian diteroboskan ke dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading tersebut menggelinding lalu diterima oleh calon nenek (ibu dari wanita hamil). Calon nenek tersebut segera menggendong kelapa gading muda. Setelah selesai, calon nenek dari pihak besan segera meneroboskan lagi seekor belut yang masih hidup, dan belut tersebut harus ditangkap oleh suami dan kemudian dimasukkan ke dalam sekar setaman. Setelah menangkap belut, suami harus pergi (masuk rumah) tanpa pamit. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan agar kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika lahir laki-laki seperti Kamajaya. Belut yang dilepaskan pada sela-sela kain, harus dikejar oleh suami sampai tertangkap, merupakan lambang agar kelahiran bayi nanti dapat lebih cepat, licin seperti belut. Simbolisasi demikian merupakan pola pemikiran asosiatif orang Jawa, yaitu karakteristik belut yang licin dibandingkan dengan kelahiran bayi. Keenam, seusai acara siraman di krobongan (luar rumah), ibu hamil diajak masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Yang bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir banyak mendapatkan rezeki. Ketujuh, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu: Tumpeng kuat, yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu di antara tumpeng itu dibuat paling besar dan enam yang lain, diletakkan mengelilingi tumpeng besar. Bilangan tujuh menggambarkan umur bayi tujuh bulan. Sedangkan makna tumpeng kuat, sebagai lambang agar bayi yang lahir sehat wal afiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin. Keleman, yaitu sajian umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi jalar, ketela, gembili, kentang, wortel, ganyong, dan garut. Hal ini bermakna agar bayi yang lahir kelak mendapatkan rezeki yang banyak dan mau hidup sederhana. Rujakan dan dhawet ayu, yang terdiri dari jeruk, mentimun, belimbing, pisang, dan lain-lain, merupakan gambaran kesenangan. Sega megana, yaitu nasi yang diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat lauk dan sayuran. Ini merupakan simbol bahwa bayi dalam kandungan tujuh bulan telah berbentuk (gumana) sebagai manusia yang siap lahir. Bayi tersebut secara fisik dan nonfisik diharapkan telah lengkap. Ketan procot, yaitu ketan yang diaduk dengan santan dan setelah dimasukkan dalam daun pisang memang dihidangkan. Yang perlu diketahui, daun pisang tersebut harus berlubang kanan kirinya, tidak boleh ditusuk dengan biting. Hal ini merupakan lambang agar kelak bayi lahir dengan mudah. Pada acara kenduri ini, sebagaimana biasanya dilakukan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an dan ditutup dengan do’a yang dipimpin oleh seorang tokoh agama (ustadz). Hal ini, sebagaimana dituturkan oleh Bapak Kiswanto (Seorang tokoh agama sekaligus juga menjabat sebagai Kepala Desa Sidomulyo) kepada penulis di kantor Kepala Desa pada hari Senin, 10 November 2008. Ia juga mengatakan bahwa tradisi adat Jawa masih terus kita lestarikan di tengah kondisi masyarakat yang memang sudah mulai meminggirkannya. Tapi, pemerintah Desa selalu memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan adat di Desa Sidomulyo. Itulah proses secara umum dari tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dalam tradisi adat Jawa, yang juga dilaksanakan di Desa Sidomulyo. |
Kandungan Filosofis |
Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual tingkeban/mitoni demikian, memang tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan-harapan keselamatan. Masyarakat Jawa menganggap mitoni sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna dan fungsi cultural selamatan mitoni adalah: (1) untuk mewariskan tradisi leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya) dan (2) untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo) hidup yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau alam sekitar. Selain itu, tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) menunjukkan karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif. Hakikatnya, tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha kuasa). Sebagaimana ungkapan: ““jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo”. Anak yang dikandung akan terlahir dengan gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian diri kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha Kuasa). |
Kesimpulan |
Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Tradisi ini memang merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas suku Jawa di Desa Sidomulyo. Namun, sebagaimana hasil penelitian penulis, tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan kepada Allah Swt. dalam rangka keselamatan dan kebahagiaan melalui laku suci (proses penyucian diri) dari berbagai kotoran dan noda dosa yang selama ini telah dilakukan.
Paling tidak, dari tradisi ini terkandung nilai-nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain: pertama, melestarikan tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan. Hal ini tentunya memiliki nilai yang istimewa karena melestarikan budaya yang baik merupakan kekayaan khazanah dalam kehidupan. Dalam qaedah ushul fikh disebutkan “al-muhafazhah ‘ala qadim ash-shalih, wal ahdzu bil jadidi al-ashlih” (Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kedua, menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo). Ketiga, karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif. Keempat, proses penyucian diri (tazkiyatun nafsi) ketika memohon kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha Kuasa).
sumber:http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/tradisi-adat-jawa-tujuh-bulanan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar