Selasa, 17 Desember 2013

Cakrawala Bahasa Jawa





BAB I
BAHASA


1.    PENGERTIAN BAHASA
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya. Sebelumnya, harus dipahami dahulu Apa itu bahasa ? Untuk menjawab pertanyaan  tersebut, ada baiknya jika kita memperhatikan beberapa  pengertian bahasa tersebut berdasarkan  pengertian umum dengan melihat kamus umum,  sebagai istilah linguistik dengan melihat kamus linguistik,  dan menyimak aneka pendapat para ahli dari latar belakang yang berbeda.
Dalam kamus umum, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 66) bahasa diartikan sebagai  sistem lambang bunyi  berartikulasi  yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional  yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Kamus Webster mendefinisikan bahasa sebagai A systematic  means of communication ideas or feeling by the use of communication sign, sounds, gestures, or mark having understood meanings. Dari dua makna umum tentang bahasa di atas,  ada persamaan yang jelas. Persamaan itu  adalah bahwa bahasa ditempatkan sebagai alat komunikasi  antar manusia untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan menggunakan simbol-simbol komunikasi baik yang berupa suara, gestur (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan.
Sebagai sebuah istilah dalam linguistik, Kridalaksana (1993:21) mengartikannya sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat  untuk bekerja sama, berinteraksi,  dan mengidentifikasikan diri. Pei dan Gaynor (1975:119) mengatakan bahwa bahasa adalah A system of communication by sound, i.e., through the organs of speech and hearing, among human beings of certain group or community, using vocal symbols possessing arbitrary conventional meaning. Dari pandangan ahli linguistik seperti Kridalaksana, Pei, dan Gaynor di atas, bahasa ditekankan sebagai sebuah sistem lambang. Istilah sistem  mengandung makna adanya keteraturan dan adanya unsur-unsur pembentuk. Jalaludin Rakhmat (1992:269), seorang pakar komunikasi, melihat bahasa dari dua sisi yaitu sisi formal dan fungsional.  Secara formal,  bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dibuat menurut tatabahasa. Sedangkan secara fungsional, bahasa diartikan  sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan.  Definisi yang diajukan Rakhmat ini tampak mencoba  merangkum pengertian umum dengan pendapat linguis.  Istilah sisi formal yang dikemukakan  Rakhmat mirip dengan istilah sistem, sedangkan sisi fungsional  sejalan dengan bahasa sebagai alat komunikasi.  Pemahaman bahwa bahasa sebagai alat komunikasi, juga didukung oleh seorang sosiolinguis  bernama Ronald Wardhaugh. Ia menyatakan bahwa bahasa adalah A System of aribtrary vocal symbols used for human communication.
Penggambaran yang lebih luas tentang bahasa pernah disampaikan oleh bapak linguistik modern, Ferdinan de Saussure. Ia  menjelaskan bahasa dengan menggunakan tiga istilah  yaitu langage, Langue, dan parole. Ketiga istilah dari bahasa Prancis itu dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan satu istilah saja yaitu ‘bahasa’.  Langage  adalah sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal. Langage ini bersifat abstrak.  Istilah langue mengacu pada sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sedangkan parole adalah bentuk konkret langue yang digunakan dalam bentuk ujaran atau tuturan oleh anggota masyarakat dengan sesamanya (Chaer, 1995:39-40;  Chambers, 95:25; Verhaar,81:1).
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah system komunikasi yang mempergunakan symbol-simbol vocal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu system yang sistematis dan juga system yang generative. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambing-lambang mana suka atau symbol-simbol arbitrer.
Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12). Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan. Alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.
Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Definisi lain tentang bahasa, antara lain bisa kita dapat dari Finochiaro. Meskipun tidak terlalu berbeda dengan definisi-definisi di atas, ia  memasukkan kaitan  bahasa sebagai bentuk budaya. Ia menyatakan  bahwa  Language is a system of arbitrary, vocal sumbols which permits all peaple in a given culture, or other peaple who have learned the system of  the culture, to communicate or to interact.
Dari sudut pandang psikologi, karena bahasa itu sebuah sistem simbol terstruktur, maka bahasa bisa dipakai sebagai alat berpikir, merenung, bahkan untuk memahami segala sesuatu. De Vito menyatakan bahwa bahasa adalah  A potentially self-refleksive, structired system of symbols which catalog the objects, events, and relation in the world .

2.    Hakekat Bahasa
Dengan melihat deretan definisi tentang bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa cukup banyak dan bervariasi definisi tentang bahasa yang bisa kita temui. Variasi itu wajar  terjadi karena sudut pandang keilmuan mereka yang juga berbeda. Meskipun demikian,  variasi tersebut terletak pada penekanannya saja, akan tetapi hakikatnya sama.  Ada yang menekankan bahasa pada fungsi komunikasi, ada yang mengutamakan bahasa sebagai sistem,  ada pula yang memposisikan bahasa sebagai alat. Meskipun demikian, ada persamaan dalam hal-hal prinsip, yang oleh Alwasilah (1993: 82-89) disebut dengan hakikat bahasa, sebagaimana akan dijelaskan dalam uraian berikut ini:
a.                   Bahasa itu sistematik,
Sistematik artinya beraturan atau berpola. Bahasa memiliki sistem bunyi dan sistem makna yang beraturan. Dalam artian, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai  sebagai suatu simbol  dari suatu rujukan (referent) dalam berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan.  Kata pnglln tidak mungkin muncul secara alamiah, karena tidak ada vokal di dalamnya.  Kalimat  Pagi ini Faris pergi ke kampus, bisa dimengarti karena polanya sitematis, tetapi kalau diubah menjadi  Pagi  pergi ini kampus ke Faris  tidak bisa dimengarti karena melanggar sistem.
Bukti lain, dalam struktur morfologis bahasa Indonesia, prefiks me- bisa berkombinasi dengan dengan  sufiks –kan dan –i seperti pada kata membetulkan dan menangisi. Akan tetapi tidak bisa berkombinasi dengan ter-. Tidak bisa dibentuk kata mentertawa, yang ada adalah mentertawakan atau tertawa. Karena bahasa itu beraturan dan berpola. 
b.                  Bahasa itu manasuka (Arbitrer)
Manasuka  atau arbiter adalah acak , bisa muncul tanpa alasan. Kata-kata (sebagai simbol) dalam bahasa  bisa muncul tanpa hubungan logis dengan yang disimbolkannya.  Mengapa makanan  khas yang berasal dari Garut itu disebut dodol bukan dedel atau dudul ? Mengapa  binatang panjang kecil berlendir itu kita sebut cacing ? Mengapa tumbuhan kecil itu disebut rumput, tetapi dalam bahasa Sunda disebut jukut, lalu dalam bahasa Jawa dinamai suket. Hal itu disebabkan karena Tidak adanya alasan kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas atau yang sejenis dengan pertanyaan  tersebut.
Bukti-bukti di atas menjadi bukti bahwa bahasa memiliki sifat arbitrer, mana suka, atau acak semaunya.  Pemilihan bunyi dan kata dalam hal ini benar-benar sangat bergantung pada konvensi atau kesepakatan pemakai bahasanya.  Orang Sunda menamai suatu jenis buah dengan sebutan cau, itu terserah komunitas orang Sunda, biarlah orang Jawa menamakannya gedang, atau orang Betawi menyebutnya pisang.
 Ada memang kata-kata tertentu yang bisa dihubungkan secara logis dengan benda yang dirujuknya seperti kata  berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena seperti itu hanya sebagtian kecil  dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.
c.                   Bahasa itu vokal
Vokal dalam hal ini berarti bunyi.  Bahasa berwujud dalam bentuk bunyi.  Kemajuan teknologi dan  perkembangan kecerdasan manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi sistem tulis tidak bisa menggantikan ciri bunyi dalam bahasa.  Sistem penulisan hanyalah  alat untuk menggambarkan arti di atas kertas, atau media keras lain. Lebih jauh lagi, tulisan berfungsi sebagai  pelestari ujaran. Lebih jauh lagi dari itu,  tulisan menjadi pelestari kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia terdahulu lainnya bisa kita prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari. Sesuatu itu antara lain berbentuk tulisan.
Realitas  yang  menunjukkan bahwa bahwa bahasa itu  vokal mengakibatkan telaah tentang bahasa (linguistik) memiliki cabang kajian  telaah bunyi yang disebut dengan istilah fonetik dan fonologi.
d.                  Bahasa itu simbol
Simbol adalah lambang sesuatu,  bahasa juga adalah lambang sesuatu. Titik-titik air yang jatuh dari langit diberi simbol dengan bahasa dengan bunyi  tertentu. Bunyi tersebut jika ditulis adalah hujan.  Hujan adalah simbol linguistik yang bisa disebut kata untuk melambangkan titik-titik air yang jatuh dari langit itu.  Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta  berupa gambar di atas kertas.  Gambar adalah bentuk lain dari simbol.   Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki bahasa untuk menyimbolkan sesuatu  menjadikannya  alat yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya jika  manusia tidak memiliki bahasa,  betapa sulit mengingat dan menkomunikasikan sesuatu kepada orang lain.
e.                  Bahasa itu mengacu pada dirinya
Sesuatu disebut bahasa jika ia mampu dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri.  Binatang  mempunyai bunyi-bunyi sendiri  ketika bersama dengan sesamanya, tetapi bunyi-bunyi yang meraka gunakan tidak bisa digunakan untuk  membelajari bunyi  mereka sendiri. Berbeda dengan halnya bunyi-bunyi yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi. Bunyi-bunyi yang digunakan manusia bisa digunakan untuk menganalisis bunyi itu sendiri. Dalam istilah linguistik, kondisi seperti itu disebut dengan metalaguage, yaitu bahasa bisa dipakai untuk  membicarakan bahasa itu sendiri.  Linguistik menggunakan bahasa untuk menelaah bahasa secara ilmiah.
f.                   Bahasa itu manusiawi
Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa  bahwa itu adalah kekayaan yang hanya dimiliki umat manusia.  Manusialah yang berbahasa  sedangkan hewan dan tumbuhan tidak.  Para hali biologi telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi,  sistem komunikasi binatang  berbeda dengan sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi binatang tidak mengenal ciri bahaya manusia sebagai sistem bunyi dan makna. Perbedaan itu kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai  homo loquens  atau  binatang yang mempunyai kemampuan berbahasa. Karena sistem bunyi yang digunakan dalam bahasa manusia itu berpola makan manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan yang bertata bahasa.
g.                  Bahasa itu komunikasi
Fungsi terpenting dan paling terasa dari bahasa adalah  bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi. Bahasa berfungsi sebagai  alat memperaret antar manusia dalam komunitasnya, dari komunitas  kecil seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak mungkin terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan bagaimana bentuk kegiatan sosial antar manusia tanpa bahasa.
Komunikasi mencakup makna  mengungkapkan dan menerima pesan, caranya bisa dengan berbicara, mendengar, menulis, atau membaca. Komunikasi itu bisa beralangsung dua arah, bisa pula searah. Komunikasi tidak hanya  berlangsung antar manusia yang hidup pada satu jaman, komunikasi itu bisa dilakukan antar manusia yang hidup pada jaman yang berbeda, tentu saja  meskipun hanya satu arah. Nabi Muhammad SAW telah meninggal  pada masa silam, tetapi ajaran-ajarannya telah berhasil dikomunikasikan kepada umat manusia pada masa sekarang.  Melalui buku, para pemikir sekarang bisa mengkomunikasikan pikirannya kepada para penerusnya yang akan lahir di masa datang.  Itulah bukti bahwa bahasa menjadi jembatan komunikasi antar manusia.

3.    Fungsi Bahasa, Macam dan jenis keragaman bahasa
Bahasa sendiri di dalam kehidupan sehari-harinya memiliki fungsi yang membantu manusia dalam melakuan kegiatannya baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekitar(masyarakat)ataupun lingkungan dalam artiluas.
Fungsi Bahasa dalam Masyarakat:
a.    Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
Dengan adanya bahasa memudahkan manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain.
b.    Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
Bahasa mempunyai peranan penting di dalam aktivitas manusia dalam hal bekerjasama dengan manusia lain. Tanpa adanya bahasa,kemungkinan besar akan terjadi kekacauan di dalamnya.
c.    Alat untuk mengidentifikasi diri.
Dengan bahasa, maka dapat mengidentifikasi darimana seseorang itu berasal.


Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
a.    Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.
b.    Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
c.    Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
d.    Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
e.    Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
f.     Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).

















BAB II

PERSEBARAN DAN KLASIFIKASI BAHASA JAWA

1.    Persebaran Bahasa Jawa
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Hal tersebut terlihat jelas dalam penggunaan bahasa Jawa yang didalamnya terdapat tingkatan bahasa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur serta Yogyakarta
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa andil dalam persebaran bahasa jawa dan juga kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61%), Bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Dalam bahasa jawa sendiri terdapat dua klasifkasi dialek, yakni : Dialek daerah, dan Dialek social. Bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokkannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya: “ A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff[1].

2.    Klasifikasi Bahasa Jawa
2.1.        Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :
a.    Dialek Banten
Menurut sejarahnya, bahasa Jawa Banten mulai dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16. Di zaman itu, bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tiada bedanya dengan bahasa di Cirebon, sedikit diwarnai dialek Banyumasan. Asal muasal kerajaan Banten memang berasal laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Pajajaran. Namun, bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa ini menjadi bahasa utama Kesultanan Banten (tingkatan bebasan) yang menempati Keraton Surosowan. Bahasa ini juga menjadi bahasa sehari - harinya warga Banten Lor (Banten Utara).
Bahasa Jawa Banten atau bahasa Jawa dialek Banten ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa Jawa di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar.
Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf 'e', ada dua versi. ada yang diucapkan 'e' saja, seperti pada kata "teman". Dan juga ada yang diucapkan 'a', seperti pada kata "Apa". Daerah yang melafalkan 'a' adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande, Kopo, Pamarayan, dan daerah timurnya. Sedangkan daerah yang melafalkan 'e' adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu, Ciruas, Anyer, dan seberang baratnya.
Contoh :
  • 'kule', dibaca 'kula' atau 'kule'. (artinya, saya)
  • 'ore', dibaca 'ora' atau 'ore'. (artinya, tidak)
  • 'pire', dibaca 'pira' atau 'pire' (artinya, berapa)
Contoh :
(B.Jawa Banten tingkat bebasan)
  • Pripun kabare? Sampean ayun ning pundi?
  • Sampun dahar dereng?
  • Permios, kule boten uning griyane kang Haban niku ning pundi?
  • Kasihe sinten?
  • Kasihe Haban Ghazali lamun boten salah.
  • Oh, wenten ning payun koh.
  • Matur nuhun nggih, kang.
  • Yewis, napik dolanan saos nggih!
  • Kang Haban! Ning pundi saos? boten ilok kepetuk!
  • Napik mengkoten, geh!
  • Kule linggar sareng teh Toyah ning pasar.
  • Ayun tumbas sate Bandeng sios.
(B.Jawa Banten tingkat standar)
  • Kepremen kabare? Sire arep ning endi?
  • Wis mangan durung?
  • Punten, kite ore weruh umahe kang Haban kuwen ning endi?
  • Ngarane sape?
  • Ngarane Haban Ghazali ari ore salah.
  • Oh, ning arep koh.
  • Nuhun ye, kang.
  • Yewis, aje memengan bae ye!
  • Kang Haban! Ning endi bae? ore ilok kependak!
  • Aje mengkonon, Geh!
  • Kite lunge karo teh Toyah ning pasar.
  • Arep tuku sate Bandeng siji.

b.    Dialek Cirebon
Dialek Cirebon atau dinamai Basa Cerbon itu ialah sejenis dialek Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Cilamaya (Karawang), Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara (Subang), Indramayu, sampai Cirebon dan Losari Timur, Brebes, Jawa Tengah. Dahulu dialek ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad 15-17. Sebelumnya, bahasa ini tak berbeda dengan Bahasa Jawa Dialek Solo, namun sejak abad 17, dialek Cerbonan mulai terlihat bedanya karena pengaruh lokal juga pengaruh Bahasa Sunda. Dialek Cirebon juga tetap mempertahankan bentuk-bentuk kuno Bahasa Jawa Tengah (seperti kalimat-kalimat dan pengucapan) yang sudah tak digunakan lagi oleh Bahasa Jawa Baku. Dialek Cirebon diajarkan di sekolah-sekolah wilayah Cirebon bersama dengan Bahasa Sunda. Di daerah Cirebon, dialek ini dituturkan oleh mayoritas penduduknya kecuali kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan Majalengka dan Kuningan yang menggunakan Bahasa Sunda. Dialek Cirebon lebih dominan di Indramayu.
Contoh :
• Kepriben kabare, cung? : Bagaimana kabarnya, anak-anak?
• Isun lungA sing umah : Aku pergi dari rumah
• Aja sok gumuyu bae : Jangan tertawa saja
• Sira arep mendhi? : Kamu mau ke mana?

c.    Dialek Tegal
Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan bagian barat. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah lainnya. Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Dialek Tegal merupakan salah satu kekayaan bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang relatif sama dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak serta- merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain: perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata. Wilayah yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal.
Dialek-dialek di Tegal beda dengan dialek Banyumas, Purwokerto yang diucapkan secara kental. Juga Pekalongan yang diucapkan secara datar. Dalam pengucapan sama namun ada kata-kata yang beda. Dialek Tegal memiliki kata "Nyong","Bae","nDean", "lah" "thok","ko", "belih" dsb. Kata "Aku ora ngerti" (Aku tak mengerti) menjadi " Nyong ora ngerti". Kata "mlebu nyang endi" (masuk ke mana) menjadi "manjing ngendi". Kata "aku ora lho" (aku tidak, lho) menjadi "Nyong ora ko". Kata " singkong lan nongko" (singkong dan nangka) menjadi "munthul nangka thok". Sama seperti bahasa Jawa yang lain Dialek Jawa - Tegal juga mengalami kesulitan untuk mengucapkan kata ganti orang pertama jamak. Kata-kata seperti "kami" atau "kita" dalam bahasa Indonesia paling-paling diserap juga menjadi "kita" dengan agak sedikit dibaca "o" dibelakangnya.  Ada yang menggunakan serapan dari jawa gaya solo menjadi "Awakke Dewe" yang diucapkan dalam dialek tegal menjadi "Awake Dewek" contoh: "Kami ingin, anda ikut bermain sepak bola di lapangan banteng" menjadi "Awake dewek pengin kowen melu maen trejek ning bulakan sapi lanang".
Contoh Dialek - "Kowen pan maring endi?" (Kamu mau kemana?) - "Nang Kene
Kyeeh..!" (Disini niih ..)

d.    Dialek Banyumasan
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur. Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis. Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya katae nak oleh dialek lain bunyinyae na, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibacae nak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Menurut para pakar bahasa, dari waktu ke waktu bahasa jawa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
·         Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
·         Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
·         Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
·         Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
(Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal)
Bahasa jawa dialek Banyumasan sendiri ditemukan disepanjang daerah aliran sungai Serayu yang berasal dari kompleks Sindoro – Sumbing ( koentjaraningrat, 1984: 23 ). Hal tersebut tidak bertentangan dengan sejarah Banyumas yang menyatakan, wilayah Wirasaba pada masa Majapahit  dan wilayah Pasirluhur pada masa Demak luas, yaitu daerah Krawang ( batas barat ) dan Sindoro – Sumbing ( batas timur ). Bahasa Jawa dialek Banyumasan tergolong bahasa yang lebih tua dibandingkan bahasa Jawa baku yang baru muncul pada masa Mataram Islam. Penelitian Esser ( 1927 – 1929 ) menunjukan gejala tersebut. Banyak kosakata dialek Banyumas yang berasal dari bahasa Jawa kuna dan sunda. Dialek Banyumas lebih dekat dengan bahasa teks Pararaton ( Jawa pertengahan ). Banyumas merupakan daerah Majapahit paling barat dan yang masih melestarikan bahasa Jawa pertengahan yang berkembang  pada masa akhir Majapahit.
Bahasa dialek Banyumasan banyak sekali bedanya dibandingkan bahasa dialek Yogyakarta – Surakarta . Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Selain itu, bahasa Jawa dialek Banyumas eksis bukan hanya dalam bentuk lisan saja melainkan juga tulisan. Di Banyumas ditemukan naskah Babad Banyumas tertua dari abad ke- 16 atau 17 berdasarkan huruf Jawa yang dipakainya ( Hole,1887:6) dan memakai bahasa dialek Banyumas. Ada dua naskah lain, yaitu Babad Wirasaba Kejawar dan Sejarah Wiarasaba yang agak dekat dengan dialek banyumas.
 Bahkan, ada naskah cerita wayang kulit yang kemungkinan besar dari Purbalingga yamg berjudul Palasara, Pandoe, en Raden Pandji dan lain – lain yang dipublikasikan oleh T.Roorda 1869 ( Martinus Nijhoof ) yang memakai dialek Banyumas. Pada cerita Lampahan Kramane Palasara, dialek Banyumas muncul pada adegan percakapan ( pocapan ) yang berkaitan dengan tokoh – tokoh panakawan  dan janturan. Adegan pocapan menimbulkan kesan bahwa dialek Banyumas di dominasi lawakan. Anggapan tersebut memang ada benarnya, tetapi dalam adegan serius pun muncul dialek Banyumas panakawan. Berikut contoh kutipan adegan pocapan :

Palasara, ” Kulup, aja takon nuyang ibumu. Ibumu wis mulih myang negara wiratha. Kakang Semar! Pulunanmu iki gawanen dedolan mrana, supaya laliya marang ibune.”
Semar, “ Ayo Nak Nla Gareng, Petruk rewangana ngeneng – ngenengi bendaramu. Mriki Den, kula gendhonh dolan mrika ngalun – alun mengkin padha tuku wedhus gembel.”
Abiyasa, “ Moh Wa, aku ora dhemen wedhus. Mayo padha nusul mring ibuku bae! “
Semar, “ Deh ge punapa nusul ibu, adoh – adoh akeh macan.”
Abiyasa, “ Bapak, mayo kowe bae jujugna nusul ibu.”
Semar, “ Deh pancen putra bengkeng. Nala gareng Petruk priye sing kono wis ora direwes.”
Nala Gareng, “ Yang aku maning Rama, wong pangawak paok diguguwa.”
Petruk, “ Yang wegah! Mongsa direwesa, mengko mundhak tangise bae. Wong karepane bendara susahedigawe gedhe, lomoh nyandhing bocah anteng mendah inyong duwe bojo cluthak, slingkuh, kolondene ya dak emong bae.”
Wilayah yang menggunakan diaek Banyumasan antara lain Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong.

e.    Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Dialek Bumiayu atau Bahasa Bumiayu, adalah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Bumiayu (Kabupaten Brebes) dan sekitarnya. Dialek ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Dialek Banyumas dan Dialek Tegal, kosakata dan cara pengucapannya juga mirip. Hal yang membedakan dialek Bumiayu dengan banyumas hanya pada intonasi dan pemilihan kata.
Ada sebagian kata yang umum dipakai oleh orang Banyumas tetapi tidak digunakan oleh orang Bumiayu. misalnya kata masuk, kata yang biasa dipakai oleh orang Banyumas adalah mlebu tetapi orang Bumiayu memakai kata manjing, kedua kata tersebut sama-sama bahasa Jawa dan memiliki arti yang sama yaitu masuk kedalam ruangan.
Jika diteliti lebih jauh, bahasa Bumiayu banyak dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Dalam tradisi budaya Jawa, bahasa Sansekerta berada di atas Krama Hinggil, bahasa Jawa yang dianggap paling halus. Kata "manjing", misalnya, sering dipakai oleh para dalang dalam cerita perwayangan. Kata "manjing" digunakan secara khusus untuk menggambarkan ruh yang masuk ke dalam diri sang Arjuna. Tapi di Bumiayu, kata tersebut digunakan untuk sembarang kalimat yang berkonotasi "masuk". "Ayame manjing umah", misalnya, berarti "ayamnya masuk rumah."
Dialek Bumiayu juga sering menambahkan akhiran ra (diucapkan rha), belih untuk mengakhiri kalimat, hal ini mungkin untuk menegaskan maksud dari kalimat tersebut. Misal:
  • Ana apa, ra? --> Ada apa ?
  • Rikané masa ora ngerti, ra ? --> Kamu masa ngga ngerti ?
  • Wis mangan, belih ? --> Sudah makan belum ?
Pan maring ngendi ? --> mau pergi kemana ?
  • Kelompok pertama di atas sering disebut dengan bahasa Jawa
Dialek ini diucapkan oleh masyarakat dari Kecamatan BumiayuBuaran-Bumiayu Paguyangan, Sirampog, dan Tonjong (Kabupaten Brebes). ngapak-ngapak.
2.2.        Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
a.    Dialek Pekalongan
Dialek Pekalongan termasuk dialek-dialek Jawa yang dituturkan di pesisir utara tanah Jawa daerah Jawa Tengah terutama di Kotamadya/Kab. Pekalongan. Meski ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal dan Semarang. Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya dialek Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di daerah Kesultanan Mataram. Namun seterusnya ada zaman di mana bahasa-bahasa Jawa terutama dialek Pekalongan mulai terlihat berbeda karena asimilasi dengan budaya lain. Dialek Pekalongan baku zaman itu tadi sudah tak digunakan lagi pada dialek Pekalongan zaman sekarang.
Zaman sekarang banyak orang Pekalongan yang bekerja menjadi Juragan Batik, tenun dan Tekstil dan tetap menggunakan dialek yang bisa dimengerti orang Pekalongan sendiri.Adanya para juragan, pedagang juga para nelayan di daerah kota dan pinggiran mewujudkan dialek ini tadi. Dialek Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara daerah Tegal (bagian barat) ,Weleri (bagian timur) dan daerah Pegunungan Kendeng (bagian selatan). Termasuk bahasa yang "sederhana" namun "komunikatif" dan mudah dipelajari serta digunakan. Maka oleh orang Jogya/Solo dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti. Oleh orang Tegal termasuk dialek yang sama derajatnya namun sulit dimengerti. Dialek Tegal banyak menggunakan istilah : Bae, nyong, manjing, kaya kuwe,.. sampai diucapkan kental . Sementara dialek Pekalongan sama namun diucapkan tak begitu kental ("datar" dalam pengucapan).Artinya ada dalam dialek Pekalongan kosakata tadi dipergunakan dan sama artinya.
Ada lagi perbedaan lainnya, contohnya:
menggunakan pengucapan :"Si" ,"Ra","Po'o","Ha'ah pok", "lha", "Ye". Adanya "kosakata" ,"Kokuwe" tegese "sepertimu", "Tak nDangka'i" artinya "kukira". "Jebhul no'o" artinya "ternyata". "lha mbuh" artinya " tidak tau", "Ora dermoho" artinya "tak sengaja". "Wegah ah" artinya "tak mau". "Nghang priye" artinya "bagaimana", "Di Bya bae ra" artinya " dihadapi saja", dan masih banyak lainnya.
Contoh kalimat : "Lha kowe pak ring ndi si?" ( kamu mau ke mana?), "Yo wis kokuwe Po'o ra". ( Ya sudah begitupun tak apa), “ tak ndangka'i lanang jebulno'o wadhok” (kukira lelaki ternyata perempuan).
Eratnya budaya orang Pekalongan dengan budaya Arab dan Tiong Koq menambah kosakata dan dialek di Pekalongan, contoh : “Wallahi temenan Po'o nyong ra ngapusi, yakin” ( Demi Allah aku tak berdusta, yakin), “ Ya Allah ..ke ra mosok ra percoyo si” (Ya Allah , kok tak percaya sekali, sih ).
Dari bahasa Cina : lhe guwe Bah cilik Congkle (ia anak Cong Lee). Biasanya para keturunan Tiong Hoa juga berbicara campur dengan bahasa Indonesia. Contoh : Lha tadi sudah tak "bilangke" tapi "ndak ngerti" yo wis ... (Tadi sudah kukatakan namun tak mengerti ya sudahlah).
Di atas itu semua dialek yang ada di dalam kota Pekalongan.
Agak minggir dari daerah kota, ada bedanya sedikit-pada pengucapan-banyak huruf vokal/konsonan yang diucapkan agak kental, dengan tambahan "huruf h dalam pengucapan",
 contoh :
"banyu" (air) diucapkan "benhyu".
 "Iwan" diucapkan "i-whan".
"bali" (pulang) diucapkan "bhelhi".
"Brahim" (Ibrahim) diucapkan "Brehiim"
“Wis ho , nyong pak bhelhi ndikik ..” ( Sudah, ya, aku akan pulang dahulu)

Bentuk dialek di atas tadi dipergunakan di daerah Batang (di bagian timur), Pemalang/Wiradesa (di bagian barat), Bandar/Kajen (di bagian selatan).

b.    Dialek Kedu
Dialek Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Kedu tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung. Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek "bandek" (Yogya-Solo) dan dialek "ngapak" (Banyumas). Contoh: Kata-katanya masih menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
• "Nyong": aku, tetapi orang Magelang memakai "aku" orang Temanggung yang di kotanya juga menggunakan "aku" di Parakan juga sebagian kecil menggunakan "aku"
• "njagong": duduk (bahasa Jawa standar: lungguh)
• "Njur piye": Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar: "banjur piye" atau "terus piye")
• "gandhul": pepaya
• "mbaca": membaca (bahasa Jawa standar: maca)
• "mberuh" = (embuh ora weruh): tidak tahu
• "mbek" = (kambek , karo): dengan contoh "mbek sopo?" artinya "dengan siapa?"
• "krongsi" = kursi (Temanggung)
• "petek poteh sekele koneng numpak dhugar gejedud-jedud" = (dialek Prembun) yang berarti: ayam putih kakinya kuning menumpang dokar kejedhod.

Adanya pengantar:e ee e,o oo o, lha kok,e halah, ha- inggih, sering digunakan dalam tuturan basa-basi masyarakat Temanggung jika lagi mengobrol. Ini menandakan jika orang Temanggung memang menyenangkan jika diajak mengobrol.

c.    Dialek Semarang
Dialek Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah lainnya, Yogyakarta, Solo, Boyolali dan Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngoko, ngoko andhapdan madya di Semarang ada di zaman sekarang.
•  Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak too ".

Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
• Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi barang" ("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").

Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frase, misalnyaLampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatang menjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung Batu tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; "Kau lho pak mu Nadri" artinya "Itu lho pamanmu dari Wanadri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk "Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota Kijang" menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi menjadi "mercy-kol".
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, Tiongkok, Arab, Pakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membedakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti "Piye, jal?" (=Bagaimana, coba?) dan "Yo, mesti!". Orang semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada "Yo" atau "Ya".
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel "ik" untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman :"Alangkah indahnya!", orang Semarang berkata: "Apik,ik!". Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: "Sayang, orangnya pergi!", orang Semarang berkata: "Wonge lungo, ik"!. Partikel "ik" kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan "He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: "semeh" Yang berarti "ibu" dan "sebeh" yang berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sebeh" sering dipakai dalam arti "mantra" atau "guna-guna"

d.    Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang sering disebut dialek Muria karena dituturkan di wilayah sekitar kaki gunung Muria,  yang meliputi wilayah Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang. Ciri khas dialek ini adalah digunakannya akhiran -em (dengan e pepet) menggantikan akhiran -mu dalam bahasa Jawa untuk menyatakan kata ganti posesif orang kedua tunggal. Jadi kata "bukuem" berarti "bukumu", "montorem" berarti "motormu", "omahem" berarti "omahmu", dan sebagainya. Ciri lainnya adalah sering digunakannya partikel "eh", dengan vokal e diucapkan panjang, dalam percakapan untuk menggantikan partikel bahasa Jawa "ta". Misalnya, untuk menyatakan: "Ini bukumu, kan?", orang Muria berkata: "Iki bukuem, eh?"(Bahasa Jawa standar: "Iki bukumu, ta?"). Contoh lain :"Jangan begitu, dong!", lebih banyak diucapkan "Aja ngono, eh!" daripada "Aja ngono, ta!"
Beberapa kosakata khas yang tidak dipakai dalam dialek Jawa yang lain antara lain:
•  "lamuk/jengklong" berarti "nyamuk" (Bahasa Jawa standar: nyamuk atau lemut)
•  "mbledeh/mblojet" berarti "telanjang dada" (Bahasa Jawa standar: ngliga)
•  "wong bento" berarti orang gila" (Bahasa Jawa standar: wong edan)
•  "pet" berarti "pipa atau air ledeng" (Bahasa Jawa standar: ledeng)
•  "neker" berarti "kelereng" (Bahasa Jawa standar: setin)
•  "jengen" berarti "nama" (Bahasa Jawa standar: jeneng)
•  "ceblok" berarti "jatuh" (Bahasa Jawa standar: tiba)

e.    Dialek Surakarta
Dialek daerah Surakarta tidak jauh berbeda dengan daerah Yogyakarta.
f.     Dialek Yogyakarta
Dialek di daerah Yogyakarta dikenal dengan istilah dialek baku(bahasa jawa baku). Hal ini disebabkan karena bahasa jawa yang digunakan tidak lagi menggunakan bahasa jawa kuna (sudah mengalami perubahan/perkembangan). Orang Yogya(dibaca Yogjo) memiliki ciri khas tersendiri yaitu agak senang menyingkat omongan, atau menambahi kalimat agar terdengar mantap.
.
 sumber: http://kisah-anak-bangsa.blogspot.com/2012/02/cakrawala-bahasa-jawa.html

2 komentar: